Rabu, 19 September 2012

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DAN SEAGAMA



 
Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan. Sungguhpun berbeda-beda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-Tanah Air, dan sesama pemeluk agama. Kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah. Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih sayang. Kerukunan mencerminkan persatuan dan  persaudaraan. Allah SwT berfirman, 
 "Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal". (Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama saja untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan  sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. 
Ketika pembukaan kota  Makkah, Bilal naik ke atas Kakbah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Kakbah?” “Jika Allah SwT membenci dia, pasti Ia menggantinya”, sahut yang lain. Maka turunlah ayat itu. Menurut riwayat lain, ayat itu turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah saw dengan seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah pun berkata,
“Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri kami dengan bekas budak kami?” Maka turunlah ayat tersebut.
Salah satu kaidah penafsiran Al-Qur’an: al-‘ibratu bi ‘umumillafzhi la bikhushushissabab – pegangan memahami suatu  ayat adalah redaksinya yang umum,  bukan peristiwa khusus yang menyertai turunnya. Meskipun ayat itu turun berkenaan dengan Bilal bin Rabah atau Abu Hind,  namun berlaku untuk setiap manusia. Meskipun Al- Qur’an turun pada abad ke 6 M kepada bangsa Arab, tapi berlaku untuk setiap generasi di segala zaman. Manusia memiliki beberapa dimensi persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia –ukhuwah basyariyah; (2)  persaudaraan pertalian darah– ukhuwah nasabiyah; (3) persaudaraan perkawinan semenda -ukhuwah shihriyah; (4) persaudaraan suku dan bangsa– ukhuwah sya’- biyah; (5) persaudaraan sesama pemeluk agama –ukhuwah diniyah; dan (6) persaudaraan seiman-seagama– ukhuwah imaniyah. 
Persaudaraan seiman dan seagama dicanangkan Allah SwT dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat 10-12  Secara tersirat ayat ini mengandung pesan bahwa menjaga persaudaraan dan kerukunan adalah suatu bentuk ketakwaan kepada Allah SwT. Untuk memelihara  kerukunan, Mukmin hendaknya menahan diri dari memperolok satu sama lain dan menghindari prasangka, saling mata-mematai, dan menggunjing. 
Konteks Surat Ali-Imran [3];103. tersebut, Madinah dahulu pernah diporak-porandakan oleh perang saudara dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah saw menapakkan kaki-nya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi, tempat tali persaudaraan yang tak ada bandingannya, dan menjadi poros Islam.
Terlaksananya persaudaraan Muslim itu merupakan idaman umat Islam yang terbesar. Atas dasar itulah Rasulullah saw menyampaikan khutbah berikut ketika beliau menunaikan ibadah haji wada’, haji perpisahan. 
“Ayyuhannas, camkanlah perkataanku baik-baik. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya….” 
“Ayyuhannas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu, hingga kamu sekalian menemui Tuhanmu, sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini. Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amalamalmu. Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barang siapa yang masih mempunyai amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya….”
“Perhatikan dan ketahuilah, bahwasanya seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, dan sesungguhnya kaum Muslimin itu bersaudara. Tidak dihalalkan bagi seseorang Muslim untuk merampas hak saudaranya sesama Muslim, kecuali apa yang diberikan kepadanya secara rela. Karena itu, janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri.”
Allah SwT menyebutkan keberadaan beberapa agama dalam Al-Qur’an sebagai berikut. "Mereka yang beriman kepada Al-Quran, dan mereka yang menganut agama Yahudi, kaum Shabiin dan Nasrani, - yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik. Mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih". (Al-Maidah [5]: 69) 
"Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik, - Allah akan memberi keputusan  tentang mereka pada hari kiamat. Allah menjadi Saksi atas mereka". (Al-Hajj [22]: 17)
Kebhinekaan agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agamanya. Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Mengakui keanekaragaman agama dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti, membenarkan agamaagama lain itu. 
Kerukunan dan persaudaraan antarumat beragama memperoleh landasannya pada firman Allah dalam surat Al- Mumtahanah [60]: 8 yang artinya “Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah mencintai orangorang yang adil. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Qatilah, istri Abu Bakr yang telah bercerai pada masa jahiliyah, datang kepada Asma‘ binti Abu Bakar. Asma‘ pun bertanya kepada Rasulullah saw, “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, boleh.” Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa itu. Dalam konteks tertentu Allah tidak mengizinkan orang-orang beriman menyandarkan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang tidak beriman. 
Allah SwT berfirman yang artinya "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai   pelindung; mereka saling melindungi sesama mereka. Dan orang di antara kamu yang mengikuti mereka, ia termasuk mereka. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang dlalim". (Al-Maidah [5]: 51)
Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, dan Ubadah bin ash-Shamit, salah seorang tokoh  Islam dari Bani Auf bin Khazraj yang terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ketika Bani Qainuqa‘  memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Nabi saw untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa‘ itu serta menggabungkan diri bersama Rasulullah saw dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat itu yang mengingatkan orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung mereka.
Dalam konteks akidah dan ibadah, tidak ada kerjasama dan kompromi antara orang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman. Allah SwT berfirman, Katakanlah: Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang kusembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu dan agamaku untukku. (Al-Kafirun [109 ]: 1-6).
Antara persaudaraan iman dan persaudaraan kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tapi sekaligus all at once. Dari satu arah seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian, ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.
Telah ditegaskan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah membaca surat ini dan juga surat Qul Huwallaahu Ahad (al-Ikhlash) dalam dua rakaat shalat thawaf. Dan di dalam kitab Shahih Muslim juga dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم pernah membaca kedua surat tersebut dalam dua rakaat shalat Shubuh (qabliyah).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم  pernah membaca dalam dua rakaat shalat sunnah sebelum Shubuh dan dua rakaat shalat setelah shalat Maghrib sebanyak duapuluh kali lebih atau sepuluh kali lebih dengan surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun) dan Qul Huwaallahu Ahad (al-Ikhlash).
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari al-Harits bin Jabalah, dia berkata, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu surat yang bisa aku baca saat akan tidur.’ Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau akan tidur pada malam hari, maka bacalah: ‘Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun), karena sesungguhnya ia akan berlepas diri dari kesyirikan.” Wallaahu a’lam
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
۰۱ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ                                                                                                                          
 ۰٢ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
۰٣ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٤ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
۰٥ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٦ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir!”
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. [QS. Al-Kafiruun : 1-6]
Surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, di mana ia memerintahkan untuk ikhlas di dalam mengerjakannya. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir,” ‘mencakup setiap orang kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju oleh khithab (pembicaraan) ini adalah orang-orang kafir Quraisy. Ada juga yang mengatakan bahwa karena kebodohan mereka, mereka mengajak Rasulullah صلي الله عليه وسلم untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun juga. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya صلي الله عليه وسلم untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan, di mana Dia berfirman: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ}”Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” Yakni patung dan tandingan. {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu juga bukan penyembah Ilah yang aku sembah.” Yaitu Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kata maa di sini bermakna man (siapa).
Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman: {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Maksudnya, dan aku tidak akan pernah menyembah sembahan kalian. Artinya, aku tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi, aku akan senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Oleh karena itu, Dia berfirman: {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu tidak pernah(pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah.” Maksudnya, kalian tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syari’at-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri. Dengan demikian, Rasulullah terlepas dari mereka dalam segala aktivitas mereka, karena sesungguhnya setiap orang yang beribadah sudah pasti memiliki sembahan dan ibadah yang ditempuhnya. Dan Rasulullah serta para pengikutnya senantiasa beribadah kepada Allah atas apa yang Dia syari’atkan. Oleh karena itu, kalimat Islam berbunyi: لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ مُحَمّدًا رَسُول الله “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”, artinya tidak ada sembahan kecuali Allah semata, dan tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya kecuali apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang musyrik menyembah selain Allah dengan ibadah yang tidak dizinkan oleh-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah berkata kepada mereka: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ini: {وَإِن كَذَّبُوكَ فَقُل لِّي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَاْ بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ} Jika mereka mendustakamu, maka katakanlah, ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”‘ (QS. Yunus: 41).
Al-Bukhari mengatakan: “Dikatakan, {لَكُمْ دِينُكُمْ} Bagimu agamamu. (yaitu) kekufuran, {وَلِيَ دِينِ} ‘Dan bagiku agamaku,’ (yaitu) Islam. Di sini Allah tidak mengatakan: ‘Diinii (agama-Ku),’ karena ayat-ayat dengan menggunakan nun sehingga huruf ya dihilangkan, seperti yang Dia firmankan: {فَهُوَ يَهْدِينِ} ‘Maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku,’[2] dan juga, {وَيَشْفِينِ} ‘Dan Dia yang menyembuhkanku.’”[3] Ibnu Jarir menukil dari beberapa orang ahli Bahasa Arab bahwa hal tersebut termasuk dalam bab penekanan. Hal itu seperti firman-Nya: {{فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Alam Nasyrah: 5-6). Dan ada juga ungkapan pendukungnya.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam beberapa kitabnya, yaitu bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ} “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,” fi’il (kata kerja)nya dinafikan, karena ia merupakan kalimat fi’liyah (berawal kata kerja). {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.” Penerimaan hal tersebut dinafikan secara total, karena penafian dalam bentuk kalimat ismiyah (berawal kata benda) lebih kuat, seakan-akan fi’il dinafikan. Dan karena ia bisa menerima hal tersebut. Dan artinya adalah penafian kejadianku sekaligus penafian kemungkinan menurut syari’at. Dan itu pun merupakan ungkapan yang baik pula. Wallaahu a’lam.
Imam Abu ‘Abdillah asy-Syafi’i dan juga yang lainnya telah menggunakan ayat yang mulia ini: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} “Bagimulah agamamu dan untukkulah agamaku,” sebagai dalil bahwa kekufuran itu secara keseluruhan merupakan satu millah (agama), sehingga ada kemungkinan orang Yahudi menerima warisan dari orang Nasrani, dan demikian pula sebaliknya, jika antara keduanya mempunyai hubungan nasab atau sebab yang bisa menjadikan mereka saling waris-mewarisi, karena semua agama selain Islam adalah satu dalam kebathilan. Imam Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang sejalan dengannya mempunyai pendapat yang menyatakan tidak dibolehkannya penerimaan warisan oleh orang Nasrani dari orang Yahudi, dan demikian sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya رضي الله عنه, dia berkata: “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
‘Tidak ada waris-mewarisi antara dua millah (agama) yang berbeda.” [HR. Abu Dawud di dalam Sunannya, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad di dalam Musnadnya (II-195)]