Kamis, 24 Januari 2013


Tujuan Pendidikan

Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia. Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.

A. Tujuan Pendidikan Dalam Islam

Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk
1.       Pembinaan Akhlak
2.       Penguasaan Ilmu
3.       Keterampilan bekerja dalam masyarakat
4.       Mengembangkan akal dan Akhlak
5.       Pengajaran Kebudayaan
6.       Pembentukan kepribadian
7.       Menghambakan diri kepada Allah
8.       Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat

B. Tujuan Pendidikan Secara Umum

Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
2. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
3. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

Tingkatan Tujuan

Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur yang kemudian dinamakan kompetensi. Tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu;

1.       Tujuan Pendidikan Nasional (TPN)

TPN adalah tujuan yang bersifat paling umum dan merupakan sasaran akhir yang harus dijadikan pedoman bagi setiap usaha pendidikan, artinya setiap lembaga dan penyelenggara pendidikan harus dapat membentuk manusia yang sesuai dengan rumusan itu, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Tujuan pendidikan umum biasanya dirumuskan dalam bentuk prilaku yang ideal sesuai dengan pandagan hidup dan filsafat suatu bangsa yang dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang. TPN merupakan sumber dan pedoman dalam usaha penyelengggaraan pendidikan.
Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai Pancasila dirumuskan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3 “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bengsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

2.       Tujuan Institusional

Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Dengan kata lain, tujuan ini dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap siswa setelah mereka menempuh atau dapat menyelesaikan program di suatu lembaga pendidikan tertentu. Tujuan institusional merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan, seperti standar kompetensi pendidikan dasar, menengah kejuruan, dan jenjang pendidikan tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bab V pasal 26 dijelaskan standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berahlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

3.       Tujuan Kurikuler

Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran. Oleh sebab itu, tujuan kurikuler dapat didefinisikan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki anak didik setelah mereka menyelesaikan suatu bidang studi tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional.
Pada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan , dan khusus pada jenjang pendidikan dan menengah terdiri atas;
1.       Kelompok mata pelajaran agama dan ahlak mulia.
2.       Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian.
3.       Kelompok mata pelajaran Ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.       Kelompok mata pelajaran estetika.
5.       Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Badan Standar Nasional Pendidikan merumuskan tujuan setiap kelompok mata pelajaran sebagai berikut:
1.       Kelompok mata pelajaran agama dan ahlak mulia bertujuan; membantu peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berahlak mulia. Tujuan tersebut dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan.
2.       Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian bertujuan; membentuk peserta didik menjadi manusia menjadi memiliki rasa kebanggaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, ahlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
3.       Kelompok mata pelajaran Ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik.
4.       Pada Satuan Pendidikan SD/MI/SD-LB/Paket A, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pemngetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal yang relevan.
5.       Pada Satuan Pendidikan SMP/MTs/SMP-LB/Paket B, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan dan/teknologi informasi dan komunikasi serta muatan lokal yang relevan.
6.       Pada Satuan Pendidikan SMA/MA/SMA-LB/Paket C, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
7.       Pada Satuan Pendidikan SMK/MAK, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan.
8.       Kelompok mata pelajaran estetika bertujuan membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.
9.       Kelompok mata pelajaran Jasmani, olah raga dan kesehatan bertujuan membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, danmenumbuhkan rasa sportifitas. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olah raga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.

4.       Tujuan Pembelajarn/Instruksional

Dalam klasifikasi tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional merupakan tujuan yang paling khusus dan merupakan bagian dari tujuan kurikuler. Tujuan pembelajran dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki anak didik setelah mereka mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu dalam satu kali pertemuan. Karena hanya guru yang memahami kondisi lapangan, termasuk memahami karakteristik siswa yang akan melakukan pembelajaran di suatu sekolah, maka menjabarkan tujuan pembelajaran ini adalah tugas guru. Sebelum guru melakukan proses belajar mengajar, guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai oleh anak didik setelah mereka selesai mengikuti pelajaran.

Rabu, 23 Januari 2013


TIMBULNYA NEW MODERNISM SUNAH
BAB  I
Pendahuluan
Sunah yang diyakini sebagai dasar hukum islam kedua oleh umat islam, kini mendapat tantangan dari kelompok minoritas new modernism sunah atau yang disebut ingkar sunah modern akibat pemahaman liberal tanpa batas. Alasannya ialah demokrasi berfikir. Bagi mereka, sunah dianggap sebagai ciptaan para ulama. Sunah tidak mengikat umat islam, boleh diikuti dan boleh ditinggalkan, sunah membuat perpecahan dikalangan umat, pengamalan sunah membuat umat menjadi mundur, dan seterusnya.secara singkat dapat dikatakan bahwa umat islam dapat menjadi maju dan sejahtera manakala meninggalkan sunah, dan umat islam menjadi terbelakang  karena mengamalkan sunah. Baginya, beragama cukup dengan Al-Qur’an, tidak perlu sunah. Pemodernanyang dilakukan kelompok ini bukan sekedar dalam pemahaman makna hadis dengan interprestasi yang sesuai dengan zamannya, namun hadisnya itu sendiri yang harus diperbaharui dengan cara dibuang atau ditinggalkan oleh umat islam.
Pada pembahasan makalah ini penulis akan memaparkan tentang timbulnya new modernism sunah, baik dari segi latar belakang timbulnya new modernism sunah dan macam-macam new modernism sunah.

BAB  II
A.      New Modernism Sunah
1.        Pengertian New Modernism Sunah
Pemikiran modern dalam sunah dapat dikatagorikan menjadi dua. Pertama, modernisasi sunah yang dilakukan oleh para ulama yang ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, dengan memperhatikan beberapa kaidah, kreteria, dan persyaratan yang telah di tetapkan. Kedua, modernisasi yang dilakukan oleh sebagian umat islam yang tidak ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis tetapi mengaku sebagai medernis.
Tujuan dari modernis adalah untuk menolak sunah dengan cara yang tidak profesional dan tidak ilmiah dengan mencari- cari permasalahan atau kelemahan dalam sunah. Pemikiran ini dapat dikatakan sebagai inkar sunah modern yang merupakan akibat dari pemikiran modern yang berlebih dalam sunah.
Dari uraian di atas bahwa pemikiran new modernism dapat dikatakan memiliki makna yang sama dengan inkar sunah modern, dimana pada proses pemikirannya menunjukan sifat pemikiran yang liberal, bebas, dan baru saja, yang berujung pada penghancuran yakni penolakan terhadap sunah.
Perbedaan antara modernis sunah yang sesungguhnya dengan new modernism yang dilakukan oleh pengaku modernis dari kelompok penolak sunah antara lain :
a.       Modernis melakukan pemurnian islam dari sunah palsu, khurafat dan bid’ah, melalui penelitian dan kritik yang benar dan menerima sunah shahihah yang sesuai dengan Al-Qur’an. Sedangkan new modernism menganggap bahwa hadis nabi yang dibukukan para ulama bagian dari khurafat dan bid’ah, menurutnya, islam harus lepas dari hadis, islam hanyalah Al-Qur’an.
b.      Dari segi keilmuan para pemikir modern sunah menguasai ilmu bahasa arab dan ushul fikih, dan menguasai ilmu hadi dirayah dan riwayah. Sedangkan para pemikir new modernism tidak menguasai ilmu tersebut.
c.       Modernisasi sunah menekankan pemahaman interprestasi makna matan sunah shahihah yang berkaitan dengan muamalah dan sosial kemasyarakatan, untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sedangkan para pemikir new modernism sunah membuang jauh-jauh sunah yang tidak sesuai dengan rasio mereka.
d.      Modernis sunah menerima sunah shahihah yang merupakan hasil dari penelitian para ulama, baik penemuan oleh para ulama terdahulu atau yang datang kemudian. Sedangkan para pemikir new modernism hanya mengakuinhasil penelitian atau ijtihad ulama, tetapi meragukan kebenaranya dari nabi SAW.

2.       Macam- Macam New Modernism Sunah
Menurut Muhammad Abu Zahrah membagi new modernism menjadi dua kelompok, yang dibagi berdasarka strategi penolakan terhadap sunah, yakni :
1.       Pengakuan secara jelas
Kelompok ini menyatakan dengan tegas dan jelas menolak sunah sebagai dalil hukum islam, dimana kelompok ini hanya memakai al qur’an sebagai dalil hukum. Kelompok ini terjadi di mesir dan lahore pakistan.
2.       Pencacian sunah
Yang dimaksud pencacian sunah pada kelompok ini adalah dengan mencaci maki para periwayat hadis dan keshahihan  sunah dengan dalil bahwa para periwayat hadis merupakan manusia biasa. Dengan ungkapan bahwa periwayat tersebut adalah pembohong, pemalsu hadis, dan seorang yang kafir.
 Sedangkan menurut Ali Ahmad Al-Salus membagi new modernism yang ditinjau dari sifat new modernism menjadi lima kelompok , yakni ;
1.       Kelompok penghancur sunah dengan cara meyebarkan berbagai isu cecaan tehadap para sahabat dan para periwayat hadis yang disepakati kredibilitasnyan,dan kitab-kitab shahih .
2.       Kelompok peragu (skeptisme) eksistensi sunah dengan mencerca sistem periwayatan dan penulisan sunah.
3.       Kelompok Al-Qur’an yang hanya berpedoman kepada Al-Qur’an saja.
4.       Kelompok rasionalis  yang menolak sunah yang tidak sesuai dengan akal / rasio.
5.       Kelompok orientalis yang menduga bahwa sunah merupakan buatan kaum muslimin pada akhir abad pertama.


B.      Latar Belakang Timbulnya
1.       Pengaruh Gerakan Modernisasi
Paham modernisasi mempunyai pengaruh yang besar di dunia barat dan segera memasuki wilayah agama yang dianggap penghalang kemajuan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern yang masuk ke dunia islamdi abad 19, dan kontak dengan modernisasi dunia barat di abad 20, sehingga timbullah ide-ide pembaharuan ke dunia islam seperti rasionalisme, nasionalisme, dan demokrasi, yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi para pimpinan umat islam.
2.       Murtad
Pengingkar terhadap sunah timbul karena murtad (keluar dari islam) atau karena mengingkari risalah nabi Muhammad SAW. Namun kelompok ini menyembunyikan kekufurannya dan menampakkan keislamannya bila berada di tengah masyarakat, tujuanya adalah agar mereka dapat diterima di masyarakat.
3.       Kebodohan
Pengingkar terhadap sunah timbul karena tidak mengerti terhadap esensi sunah yang merupakan warisan islami dan sumber hukum islam yang murni. Dan juga tidak mengenal Al-Qur’an kecuali kulitnya saja, dan tidak mengenal kedudukan rasul kecuali dianggap seperti pemimpin suatu bangsa biasa yang berkhidmah pada kaum dan tanah airnya. Ketika mereka mengetahui bahwa sunah sebagai penjelas Al-Qur’an yang mengantarkan kemajuan umat islam, maka sunah dianggap sebagai penghalang kemajuan. Akhirnya mereka harus memberikan interprestasi yang sesuai dengan kesenangan hati mereka.
4.       Mencari popularitas
Diantara mereka terbius istilah metode ilmiah yang dipropagandakan oleh sebagian orientalis barat yang tidak jujur dalam penelitiannya. Hal ini dilakukan hanya sekedar ingin mendapatkan popularitas di tengah masyarakat bahwa ia sebagai pembaru, modernis, dan pemikir islam.

Adapun menurut Mushthafa Al-Siba’iy, tentang sebab yang melatarbelakangi keikutsertaan new modernism sunah tehadap isu yang ditebarkan oleh orientalis sebagai berikut :
a.       Ketidaktahuan hakikat warisan islam yang merupakan sumber ajaran islam yang masih murni dan tertipu slogan dugaan penelitian ilmiah, demokretisasi, yang ditiupkan oleh propagandaorientalis.
b.      Mencari popularitas sebagai modernis yang mampu melepaskan diri dari tali taklid yang membelenggu.
c.       Adanya pengaruh pemikiran yang menyimpang dengan bersembunyi di belakang orientalis.
Berbagai macam latar belakang new modernism sunah yang pada prinsipnya tidak mengacu kepada objektifitas penelitian yang tumbuh dari rasa kebenaran dan kejujuran, akan tetapi lebih subjektifitas yang didasarkan pada sentimen kepentingan internal  dan kebodohan.

BAB  III
Penutup
Kesimpulan
Pemikiran new modernism dapat dikatakan memiliki makna yang sama dengan inkar sunah modern, dimana pada proses pemikirannya menunjukan sifat pemikiran yang liberal, bebas, dan baru saja, yang berujung pada penghancuran yakni penolakan terhadap sunah.
Adapun macam macam new modernism menurut Muhammad Abu Zahrah menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menyatakan secara jelas menolak sunah, dan kelompok yang mencaci maki periwayat periwayat hadis dan keshahihan  sunah dengan dalil bahwa para periwayat hadis merupakan manusia biasa.
Sedangkan latar belakang timbulnya new modernism antara lain disebabkan karena adanya pengaruh gerakan modernisasi, adanya umat islam yang murtad, kebodohan umat islam serta adanya umat islam yang hanya mencari populeritas saja.
Sunah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, dimana kita diwajibkan mempercayai sunah sebagaimana kita mempercayai al-quran, karena sunah merupakan panduan hidup yang sangat berarti selain Al-Qur'an

Daftar Pustaka
Khon, abdul majid, “ pemikiran modern dalam sunah”, pendekatan ilmu hadis. Jakarta : kencana 2011. Ed 1. Cet 1.

Sabtu, 19 Januari 2013

JABARIYAH DAN QADARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemikiran

             Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan dianalisa.

             Al-Syahrastani menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.

             Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.

             Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

             Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. QADARIYAH

1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah

      Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .

      Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut berbunyi:  “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.

      Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy . Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.

      Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada banyak kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus, diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.

      Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah

      Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.

1. Ma’bad Al-Jauhani
      Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .

2. Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy
      Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya . Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri .

      Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .

      Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.

      Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi . Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri.

      Selanjutnya, terlepas apakah faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:

Dalam surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”
.
Dalam surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman:
 “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;”.

Dalam surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
 “Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.

      Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.

B. JABARIYAH

1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah

      Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya .

      Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .

      Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

      Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme . Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
1.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2.       Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3.       Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4.       Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dari agama Kristen bermazhab yacobit.

      Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.

2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Jabariyah

      Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham jabariyah adalah Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.

 1. Al-Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan .

 2. Jahm Ibnu Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib, juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama .

      Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara ajaran jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya.

      Sebagai penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk . Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a.       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b.      Surge dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c.       Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d.      Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.

      Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah
b.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar
c.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya .

         Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan . Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:

 1) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.       Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2.       Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan

 2) Adh-Dhirar
Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

         Adapun golongan jabariyah mengatakan bahwa tidak ada ikhtiar bagi manusia, sebab Tuhan telah lebih dahulu menentukan segala-galanya. Sementara Ahlussunnah menetapkan usaha dan ikhtiar bagi manusia dan Allah yang menentukan. Jadi, orang akan mendapat pahala dengan usaha dan ikhtiarnya, juga sebaliknya ia akan mendapat dosa oleh sebab usaha dan ikhtiarnya.

      Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang melatar belakangi lahirnya faham jabariyah di antaranya:

 Dalam surat Ash-Shaffat ayat 96, Allah berfirman: 
 Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

Dalam surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
 “Mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”

Dalam surat Al-Anfal ayat 17, Allah berfirman: 
      “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.

      Ayat-ayat diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, manusia dalam paham jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan dan skenario serta kehendak Tuhan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

      Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran qadariyah maupun jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Quran. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Namun pendapat mana yang lebih baik tidaklah bisa dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia

.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Sirajuddin Zar, 2003, Teologi Islam: aliran dan ajarannya, Padang: IAIN Press.