Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan. Sungguhpun berbeda-beda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-Tanah Air, dan sesama pemeluk agama. Kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah. Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih sayang. Kerukunan mencerminkan persatuan dan persaudaraan. Allah SwT berfirman,
"Hai
manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami
jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan
supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam
pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha
Mengenal". (Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat tersebut ditujukan
kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Manusia
diturunkan dari sepasang suami-istri. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan
nama-nama saja untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali
perbedaan sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu,
dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa.
Ketika pembukaan kota
Makkah, Bilal naik ke atas Kakbah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah
budak hitam adzan di atas Kakbah?” “Jika Allah SwT membenci dia, pasti Ia
menggantinya”, sahut yang lain. Maka turunlah ayat itu. Menurut riwayat lain,
ayat itu turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah
saw dengan seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah pun berkata,
“Wahai Rasulullah,
pantaskah kami mengawinkan putri kami dengan bekas budak kami?” Maka turunlah
ayat tersebut.
Salah satu kaidah penafsiran
Al-Qur’an: al-‘ibratu bi ‘umumillafzhi la bikhushushissabab – pegangan memahami
suatu ayat adalah redaksinya yang
umum, bukan peristiwa khusus yang menyertai turunnya. Meskipun ayat itu
turun berkenaan dengan Bilal bin Rabah atau Abu Hind, namun berlaku untuk
setiap manusia. Meskipun Al- Qur’an turun pada abad ke 6 M kepada bangsa Arab,
tapi berlaku untuk setiap generasi di segala zaman. Manusia memiliki beberapa dimensi
persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia –ukhuwah basyariyah;
(2) persaudaraan pertalian darah– ukhuwah nasabiyah; (3) persaudaraan
perkawinan semenda -ukhuwah shihriyah; (4) persaudaraan suku dan bangsa–
ukhuwah sya’- biyah; (5) persaudaraan sesama pemeluk agama –ukhuwah diniyah;
dan (6) persaudaraan seiman-seagama– ukhuwah imaniyah.
Persaudaraan seiman dan
seagama dicanangkan Allah SwT dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat
10-12 Secara tersirat ayat ini mengandung pesan bahwa menjaga
persaudaraan dan kerukunan adalah suatu bentuk ketakwaan kepada Allah SwT.
Untuk memelihara kerukunan, Mukmin hendaknya menahan diri dari memperolok
satu sama lain dan menghindari prasangka, saling mata-mematai, dan
menggunjing.
Konteks Surat Ali-Imran
[3];103. tersebut, Madinah dahulu pernah diporak-porandakan oleh perang saudara
dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah saw menapakkan
kaki-nya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi,
tempat tali persaudaraan yang tak ada bandingannya, dan menjadi poros Islam.
Terlaksananya
persaudaraan Muslim itu merupakan idaman umat Islam yang terbesar. Atas dasar
itulah Rasulullah saw menyampaikan khutbah berikut ketika beliau menunaikan
ibadah haji wada’, haji perpisahan.
“Ayyuhannas, camkanlah perkataanku baik-baik. Sebab, aku tidak tahu,
mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat
ini, untuk selama-lamanya….”
“Ayyuhannas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu, hingga
kamu sekalian menemui Tuhanmu, sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini.
Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amalamalmu.
Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barang siapa yang masih mempunyai
amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya….”
“Perhatikan dan ketahuilah, bahwasanya seorang Muslim itu saudara bagi
Muslim lainnya, dan sesungguhnya kaum Muslimin itu bersaudara. Tidak dihalalkan
bagi seseorang Muslim untuk merampas hak saudaranya sesama Muslim, kecuali apa
yang diberikan kepadanya secara rela. Karena itu, janganlah kamu menganiaya
dirimu sendiri.”
Allah SwT menyebutkan
keberadaan beberapa agama dalam Al-Qur’an sebagai berikut. "Mereka yang
beriman kepada Al-Quran, dan mereka yang menganut agama Yahudi, kaum Shabiin
dan Nasrani, - yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik.
Mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih". (Al-Maidah [5]: 69)
"Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin,
Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik, - Allah akan memberi keputusan tentang
mereka pada hari kiamat. Allah menjadi Saksi atas mereka". (Al-Hajj [22]: 17)
Kebhinekaan agama
meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agamanya. Muslim
niscaya menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Mengakui keanekaragaman
agama dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan
bukan berarti, membenarkan agamaagama lain itu.
Kerukunan dan
persaudaraan antarumat beragama memperoleh landasannya pada firman Allah dalam
surat Al- Mumtahanah [60]: 8 yang artinya “Allah tidak melarang kamu dari
mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah
mencintai orangorang yang adil. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Qatilah, istri
Abu Bakr yang telah bercerai pada masa jahiliyah, datang kepada Asma‘ binti Abu
Bakar. Asma‘ pun bertanya kepada Rasulullah saw, “Bolehkah saya berbuat baik
kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, boleh.” Ayat tersebut turun berkenaan
dengan peristiwa itu. Dalam konteks tertentu Allah tidak mengizinkan
orang-orang beriman menyandarkan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang
tidak beriman.
Allah SwT berfirman
yang artinya "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung; mereka
saling melindungi sesama mereka. Dan orang di antara kamu yang mengikuti
mereka, ia termasuk mereka. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang
yang dlalim". (Al-Maidah [5]: 51)
Ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, dan Ubadah
bin ash-Shamit, salah seorang tokoh Islam dari Bani Auf bin Khazraj yang
terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ketika
Bani Qainuqa‘ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan
diri, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Nabi saw untuk
membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani
Qainuqa‘ itu serta menggabungkan diri bersama Rasulullah saw dan menyatakan
hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat itu yang mengingatkan
orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum
Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung mereka.
Dalam konteks akidah
dan ibadah, tidak ada kerjasama dan kompromi antara orang beriman dengan
orang-orang yang tidak beriman. Allah SwT berfirman, Katakanlah: Hai
orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu pun tak
akan menyembah apa yang kusembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu dan
agamaku untukku. (Al-Kafirun [109 ]: 1-6).
Antara persaudaraan
iman dan persaudaraan kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini
atau itu, tapi sekaligus all at once. Dari satu arah seorang Muslim menjadi
nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan
universal. Dengan demikian, ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya,
maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan
bangsanya.
Telah ditegaskan di
dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah membaca surat ini dan juga surat Qul
Huwallaahu Ahad (al-Ikhlash) dalam dua rakaat shalat thawaf. Dan di dalam kitab
Shahih Muslim juga dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم pernah membaca kedua surat tersebut dalam dua rakaat shalat
Shubuh (qabliyah).
Imam Ahmad meriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم pernah membaca dalam dua
rakaat shalat sunnah sebelum Shubuh dan dua rakaat shalat setelah shalat
Maghrib sebanyak duapuluh kali lebih atau sepuluh kali lebih dengan surat Qul
Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun) dan Qul Huwaallahu Ahad (al-Ikhlash).
Imam Ahmad juga
meriwayatkan dari al-Harits bin Jabalah, dia berkata, “Aku berkata: ‘Wahai
Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu surat yang bisa aku baca saat akan tidur.’
Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau akan tidur pada malam hari, maka bacalah:
‘Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun), karena sesungguhnya ia akan berlepas
diri dari kesyirikan.” Wallaahu a’lam
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut Nama
Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
۰۱ قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
۰٢ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
۰٣ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٤ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
۰٥ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٦ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai
orang-orang kafir!”
aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu bukan
penyembah Ilah yang aku sembah
Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah
Untukmulah agamamu, dan
untukkulah agamaku. [QS. Al-Kafiruun : 1-6]
Surat ini merupakan
surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik, di mana ia memerintahkan untuk ikhlas di dalam
mengerjakannya. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir,” ‘mencakup setiap orang
kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju oleh khithab
(pembicaraan) ini adalah orang-orang kafir Quraisy. Ada juga yang mengatakan
bahwa karena kebodohan mereka, mereka mengajak Rasulullah صلي الله عليه وسلم untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan
menyembah Rabb beliau selama satu tahun juga. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan
surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya صلي الله عليه وسلم untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan, di
mana Dia berfirman: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ}”Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah.” Yakni patung dan tandingan. {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu juga bukan penyembah
Ilah yang aku sembah.” Yaitu Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kata
maa di sini bermakna man (siapa).
Selanjutnya, Allah
Ta’ala berfirman: {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Maksudnya, dan aku tidak akan pernah menyembah sembahan kalian. Artinya, aku
tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi, aku akan
senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Oleh
karena itu, Dia berfirman: {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu tidak pernah(pula) menjadi penyembah Ilah yang aku
sembah.” Maksudnya, kalian tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan
syari’at-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri
kalian sendiri. Dengan demikian, Rasulullah terlepas dari mereka dalam segala
aktivitas mereka, karena sesungguhnya setiap orang yang beribadah sudah pasti
memiliki sembahan dan ibadah yang ditempuhnya. Dan Rasulullah serta para
pengikutnya senantiasa beribadah kepada Allah atas apa yang Dia syari’atkan.
Oleh karena itu, kalimat Islam berbunyi: لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ مُحَمّدًا
رَسُول الله “Tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”, artinya
tidak ada sembahan kecuali Allah semata, dan tidak ada jalan yang bisa
mengantarkan kepada-Nya kecuali apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang
musyrik menyembah selain Allah dengan ibadah yang tidak dizinkan oleh-Nya. Oleh
karena itu, Rasulullah berkata kepada mereka: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ} “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala ini: {وَإِن كَذَّبُوكَ فَقُل لِّي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ
أَنتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَاْ بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ} Jika mereka mendustakamu, maka katakanlah, ‘Bagiku pekerjaanku
dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan
aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”‘ (QS. Yunus: 41).
Al-Bukhari mengatakan:
“Dikatakan, {لَكُمْ دِينُكُمْ} Bagimu agamamu. (yaitu)
kekufuran, {وَلِيَ دِينِ} ‘Dan bagiku agamaku,’ (yaitu)
Islam. Di sini Allah tidak mengatakan: ‘Diinii (agama-Ku),’ karena ayat-ayat
dengan menggunakan nun sehingga huruf ya dihilangkan, seperti yang Dia
firmankan: {فَهُوَ يَهْدِينِ} ‘Maka Dia yang memberi petunjuk
kepadaku,’[2] dan juga, {وَيَشْفِينِ} ‘Dan Dia yang
menyembuhkanku.’”[3] Ibnu Jarir menukil dari beberapa orang ahli Bahasa Arab
bahwa hal tersebut termasuk dalam bab penekanan. Hal itu seperti firman-Nya: {{فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْراً. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} “Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
(QS. Alam Nasyrah: 5-6). Dan ada juga ungkapan pendukungnya.
Abul ‘Abbas Ibnu
Taimiyyah menyebutkan di dalam beberapa kitabnya, yaitu bahwa yang dimaksud
dengan firman-Nya: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ} “Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah,” fi’il (kata kerja)nya dinafikan, karena ia merupakan kalimat
fi’liyah (berawal kata kerja). {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا
عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah.” Penerimaan hal tersebut dinafikan secara
total, karena penafian dalam bentuk kalimat ismiyah (berawal kata benda) lebih
kuat, seakan-akan fi’il dinafikan. Dan karena ia bisa menerima hal tersebut.
Dan artinya adalah penafian kejadianku sekaligus penafian kemungkinan menurut
syari’at. Dan itu pun merupakan ungkapan yang baik pula. Wallaahu a’lam.
Imam Abu ‘Abdillah
asy-Syafi’i dan juga yang lainnya telah menggunakan ayat yang mulia ini: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ} “Bagimulah agamamu dan untukkulah agamaku,” sebagai dalil
bahwa kekufuran itu secara keseluruhan merupakan satu millah (agama), sehingga
ada kemungkinan orang Yahudi menerima warisan dari orang Nasrani, dan demikian
pula sebaliknya, jika antara keduanya mempunyai hubungan nasab atau sebab yang
bisa menjadikan mereka saling waris-mewarisi, karena semua agama selain Islam
adalah satu dalam kebathilan. Imam Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang
sejalan dengannya mempunyai pendapat yang menyatakan tidak dibolehkannya
penerimaan warisan oleh orang Nasrani dari orang Yahudi, dan demikian
sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya
dari kakeknya رضي الله عنه, dia berkata: “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ
مِلَّتَيْنِ شَتَّى
‘Tidak ada
waris-mewarisi antara dua millah (agama) yang berbeda.” [HR. Abu Dawud di dalam
Sunannya, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad di dalam Musnadnya (II-195)]