JABARIYAH DAN QADARIYAH
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Pemikiran
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil
pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa
itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara
filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka
langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu
berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu
itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi
persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam
sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan
lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan dianalisa.
Al-Syahrastani menyebutkan beberapa
prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di
antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan
dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’
dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala
dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.
Tuhan adalah pencipta segala
sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu
sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat
mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah
manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan
terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya
pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan
tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan
dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah
dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan
perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan
perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari
pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat
bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya.
Di samping itu, berbagai ayat
alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan
kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung
jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala
atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam
alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan.
Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
QADARIYAH
1.
Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu
dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara
terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat
dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan
kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku
manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah
melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkehendak . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan
kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang
menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut berbunyi: “Kaum
Qadariyah adalah majusinya umat ini.
Tentang kapan munculnya faham Qadariyah
dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi
Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman
mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat
menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan
tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata,
berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy . Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya
Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan
faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk
Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan
mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan Muhammad Ibnu
Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya
qadariyah muncul, ada banyak kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti
sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut qadariyah ketika
itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini
terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Sebagian lain berpendapat bahwa faham
ini muncul di Damaskus, diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen
yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.
Faham ini mendapat tantangan keras dari
umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi
keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab
sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa
Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri
mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh
alam sekelilingnya. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak
dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan
dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah.
Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham
dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik
kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
2.
Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah
Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.
1.
Ma’bad Al-Jauhani
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan
al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia
adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak
baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia
memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal
politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik.
Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk
Basrah yang mengikuti alirannya .
2.
Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim
al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali
dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada
masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai
pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan
Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya
. Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum
dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang
dihadiri oleh Hisyam sendiri .
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang
mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh
Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk pada qadar Tuhan .
Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat
menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan
perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya
sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan
keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan,
tanpa ada campur tangan Tuhan.
Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia
mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara
lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan
menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh
Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak
memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu
bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi . Dengan demikin dapat
disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka
dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka
hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan
kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang
diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di
neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri.
Selanjutnya, terlepas apakah faham
qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam
Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah
sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:
Dalam
surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”
.
Dalam
surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman:
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;”.
Dalam
surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
“Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian faham qadariyah memiliki
dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang
menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.
B.
JABARIYAH
1.
Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah
Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara
istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun Nasution
jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya .
Adapun mengenai latar belakang lahirnya
aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa
faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para
ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini
diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan
pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik
matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak
dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi
yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di
sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah
dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung
pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme . Faham ini
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm
bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai
tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan
Bani Umayah. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan
mengenai takdir.
2. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri.
Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”
mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman
potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam
kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan
menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada
pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar
Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan,
maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan
tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat
dosa.
4. Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari
pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan
bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu
pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dari agama Kristen bermazhab yacobit.
Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit
faham jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai
suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang
telah disebutkan diatas.
2.
Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Jabariyah
Seperti yang telah disinggung sebelumnya,
bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham jabariyah adalah Ja’d bin Dirham
dan Jahm bin Shafwan.
1. Al-Ja’d bin Dirham
Ja’d
adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya
untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d
lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan
.
2. Jahm Ibnu Shafwan
Nama
lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib,
juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah,
ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris
Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia
dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama .
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara ajaran jabariyah ekstrim
adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya.
Sebagai penganut dan penyebar faham
jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat,
seperti ke Tirmidz dan Balk . Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah
sebagai berikut:
a. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b. Surge dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,
pendapatnya dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula
Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum
sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu
yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah
b. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti
berbicara, melihat, mendengar
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya .
Berbeda
dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan
memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh
Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
Tuhan . Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
1) An-Najjar
Nama
lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya
adalah:
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah
yang disebut kasab.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan
bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga
manusia dapat melihat Tuhan
2) Adh-Dhirar
Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga
berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad.
Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
Adapun
golongan jabariyah mengatakan bahwa tidak ada ikhtiar bagi manusia, sebab Tuhan
telah lebih dahulu menentukan segala-galanya. Sementara Ahlussunnah menetapkan
usaha dan ikhtiar bagi manusia dan Allah yang menentukan. Jadi, orang akan
mendapat pahala dengan usaha dan ikhtiarnya, juga sebaliknya ia akan mendapat
dosa oleh sebab usaha dan ikhtiarnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang
awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat
yang melatar belakangi lahirnya faham jabariyah di antaranya:
Dalam surat Ash-Shaffat ayat 96, Allah
berfirman:
Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
Dalam
surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
“Mereka
tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”
Dalam
surat Al-Anfal ayat 17, Allah berfirman:
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.
Ayat-ayat diatas terkesan membawa
seseorang pada alam pikiran jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola
pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun
anjurannya telah tiada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, manusia dalam
paham jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas
dari aturan dan skenario serta kehendak Tuhan.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa, baik aliran qadariyah maupun jabariyah nampaknya memperlihatkan faham
yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Quran.
Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan
pendapat dalam Islam. Namun pendapat mana yang lebih baik tidaklah bisa dinilai
sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akhirat
nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia
mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan
peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila
ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia
.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun
Nasution, 1986, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan,
Jakarta: UI Press.
Rosihon
Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Sirajuddin
Zar, 2003, Teologi Islam: aliran dan ajarannya, Padang: IAIN Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar