Pendahuluan
Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata
‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai
banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta
etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya
istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens,
2000).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953
– mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 –
mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2.
kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3.
nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
“Etika adalah
studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya
sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh
tingkah laku manusia”.
Apakah Ilmu
itu ?
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima –
ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge.
Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga
diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu paada
makna yang sama. Untuk lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini
akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu
bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan)
itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
“Science is knowledge arranged in a system, especially obtained by
observation and testing of fact (And English reader’s dictionary)
“Science is a systematized knowledge obtained by study, observation,
experiment” (Webster’s super New School and Office Dictionary)
dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung arti pengetahuan,
tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis
atau menurut Moh Hatta (1954 : 5) “Pengetahuan yang didapat dengan jalan
keterangan disebut Ilmu.
Ilmu adalah kumpulan ( akumulasi ) dari banyak pengetahuan,
sedangkan pengetahuan merupakan kumpulan (akumulasi ) dari banyak informasi
Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat
penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an
yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping
hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut
ilmu.
Didalam Al qur’an , kata ilmu dan
kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali , ini bermakna bahwa ajaran
Islam sebagaimana tercermin dari AL qur’an sangat kental dengan nuansa
nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi
Ghulsyani9(1995;; 39) sebagai berikut ;
‘’Salah satu ciri yang membedakan Islam
dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al quran
dan Al –sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan
kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi’’
ALLah s.w.t berfirman dalam AL qur;’an
surat AL Mujadilah ayat 11
“ALLah meninggikan baberapa derajat (tingkatan)
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmupengetahuan).dan ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa
orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh
kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong
untuk menuntut ILmu ,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar
betapa kecilnya manusia dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasa kepada ALLah bila melakukan hal-hal yang
dilarangnya, hal ini sejalan dengan fuirman
ALLah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping ayat –ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat
istimewa, AL qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seprti tercantum dalam AL qur’an sursat Thaha
ayayt 114
“dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu
penggetahuan “.
dalam hubungan inilah konsep membaca,
sebagai salah satu wahana menambah ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah
sejak awal menekeankan pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman
ALLah yang pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia
dengan perantaraan tulis baca.
Ayat –ayat trersebut , jelas merupakan
sumber motivasi bagi umat islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu,untuk
terus membaca ,sehingga posisi yang tinggi dihadapan ALLah akan tetap terjaga, yang
berearti juga rasa takut kepeada ALLah akan menjiwai seluruh aktivitas
kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh , dengan demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu
akan membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjd (1992: 130) meyebutkan bahwa
keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh ini
seolah menengahi antara iman dan amal .
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi
manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya.
Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang
dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar
tidak menimbulkan dampak negatif.
Adapun tentang masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng
Muhadjir membagi kepada empat klaster, yaitu:
1)
Temuan basic research,
Dunia ilmu telah
menemukan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ditemukan DNA unggul
dan DNA cacat. Ketika mengembangkan DNA jati unggul untuk memperluas,
mempercepat dan meningkatkan kualitas reboisasi kita, tidak jadi masalah. Juga
ketika kloning domba kita berhasil dan tergambarkan bagaimana domba masa depan
akan lebih dapat memberikan protein hewani kepada manusia yang semakin
bertambah dengan pesat, juga tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika masuk
ranah manusia, apakah manusia unggul perlu dikloning dan pakah manusia yang
memiliki DNA cacat tidak diberi hak untuk memiliki keturunan, menimbulkan
masalah HAM.
Penisilin yang ditemukan secara kebetulan oleh
Alexander Fleming dalam wujud jamur dapat dikembangkan menjadi adonan roti dan
dapat dikembangkan menjadi bakteri antibiotiok bagi banyak penyakit infeksi,
sampai sekarang masih banyak digunakan orang. Temuan tersebut disyukuri banyak orang karena karena banyak sekali
gunanya untuk menyembuhkan keracunan darah, penumonia meningitis, dan berbagai
infeksi. Eksesnya baru diketahui akhir-akhir ini masalahnya sejauhmana etika
diterapkan pada penemuan tersebut.
2) Rekayasa
teknologi,
Thalidomide suatu temuan obat tidur yang
dianggap aman yang telah diujikan kepada binatang dan manusia. Kemudian para
ilmuan menemukan bahwa obat itu berbahaya jika dikonsumsi oleh ibu hamil
memasuki bulan kedua karena akan mengakibatkan anaknya cacat, ekses obat ini
menyangkut masa depan anak yang selamanya cacat fisik dan mengerikan.
3) Dampak
sosial rekayasa,
Dampak pengembangan teknologi dapat
dipilah menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individu dan dampak pada
kualitas hidup sosial menyeluruh. Dengan ditemukanya energi partikel alpha yang
radio aktif dalam konstruksi pemikiran destruktif telah dipergunakan untuk
membuat bom nuklir yang mengakibatkan kehancuran secara massal dan merusak
kelestarian alam. Alhamdulillah masyarakat manusia sadar sehingga energi nuklir
yang radio aktif digunakan untuk keperluan media dan untuk alternatif energi
listrik.
4) Rekayasa
sosial.
Sistem kapitalisme dan sistem sosialisme
adalah merupakan rekayasa sosial. Sistem sosialisme Rusia yang komonistik
terbukti gagal sehingga memang harus ditinggalkan. Sistem sosialisme Inggris
dan Perancis mengalami banyak sekali modifikasi sehingga semakin mendekat dengan
kapitalisme, sementara kapitalisme itu sendiri juga mengalami banyak sekali
perubahan. Ide demokrasi yang mengakui persamaan antar manusia merupakan
rekayasa sosial yang konter terhadap legitimasi monarki atau sistem kasta. Ide
demokrasi kapitalistik menampilkan struktur masyarkat bentuk piramidal,
Sementara itu, Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Metode dan Etika
Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah mengemukakan terkait dengan etika
pengembangan ilmu, bahwa etika yang harus diperhatikan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan adalah:
1. Rasa tanggung jawab di hadapan Allah,
Rasa tanggung jawab di hadapan Allah,
sebab ulama merupakan pewaris para anbiya. Tidak ada pangkat yang lebih tinggi
daripada pangkat kenabian dan tidak ada derajat yang ketinggiannya melebihi
para pewaris pangkat itu.
2. Amanat Ilmiah.
Sifat amanah merupakan kemestian iman
termasuk ke dalam moralitas ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak memiliki
sifat amanah. Dalam memberikan kriteria orang beriman Allah menjelaskan dalam
QS: al-Mu’minun:8
“ dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.
Sebaliknya sifat khianat merupakan
kriteria orang yang munafik, yang salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah
apabila diberikan amanat maka dia berkhianat
Seseorang yang tahu bertahan dengan
pendiriannya dan terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya dia berkata: “Aku
tidak tahu.” Di dalam dunia ilmiah tidak dikenal sifat malu dan sombong. Dunia
ilmiah selalu mengakui kebenaran apapun atau faedah apapun yang sudah jelas,
sekalipun bersumber dari orang yang tidak memiliki ilmu yang luas atau berusia
muda atau berkedudukan rendah.
3. Tawadu’.
Salah
satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan ialah tawad}u. Orang yang benar
berilmu tidak akan diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh
perasaan ‘ujub mengagumi diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah
laksana lautan yang tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil
mencapai pantainya.
4. Izzah.
Perasaan mulia yang merupakan fadhilah
paling spesifik bagi kaum muslimin secara umum.Izzah di sini adalah perasaan
diri mulia ketika menghadapi orang-orang yang takabbur atau orang yang
berbangga dengan kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan lain
yang bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa dan
permusuhan. Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah dan tidak
mengharapkan apapun dari manusia, tidak menjilat kepada orang yang berkuasa
5. Mengutamakan dan menerapkan Ilmu
Salah satu moralitas dalam Islam adalah
menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada keterkaitan antara ilmu dan ibadah. Kehancuran kebanyakan manusia
adalah karena mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan
sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter
yang mengetahui bahayanya suatu makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap
juga dia menikmatinya karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis
yang memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan
bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini
tidak diridhai dalam Islam.
6. Menyebarkan ilmu
Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag
harus dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka berkewajiban agar ilmu tersebar
dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang disembunyikan tidak mendatangkan
kebaikan, sama halnya dengan harta yang ditimbun.
Gugurnya kewajiban menyebarkan ilmu hanya
dibatasi jika ilmu yang disebarkan itu akan menimbulkan akibat negatif bagi
yang menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang lain atau
jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya.
7. Hak Cipta dan
Penerbit
Mengenai hak cipta
dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak semudah kehidupan
orang lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus melebihi orang
lain, seorang ilmuwan pengarang memerlukan perpustakaan yang kaya dengan
referensi penting dan juga memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil,
mengkliping dan sebagainya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang
kehidupan keluarganya.
Tanpa semua itu tidak mungkin seorang
pengarang akan menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu,
jika suatu karya ilmiah telah diterbitkan kadang-kadang pengarang masih
memerlukan lagi untuk mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua ini
memerlukan tenaga dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu
karya ilmiah maka dialah yang berhak mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya
ilmiahnya. Tetapi perlu diingat dan dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai
penerbit dan pengarang mengeksploitasi para pembaca dengan menaikkan harga
buku-buku dengan harga yang tidak seimbang dengan daya beli pembaca atau
pendapatan yang diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka hal itu
tidak dibenarkan oleh syara’
Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pengembangan
ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan
manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi ini. Karena
tanpa didasari etika, maka semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin
tinggi teknologi yang mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang
mereka miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu
mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka terhadap orang lain
dan hak-hak orang lain.
Peran Islam dalam perkembangan iptek
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma
ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan
paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan
bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi
seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam
sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi
segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam
dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak
dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari
Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan
sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat
Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada
sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek,
didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam
boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya
jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat
Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Hal hal yang berkaitan peran Islam dalam perkembangan iptek
1. Paradigma Hubungan
Agama-Iptek
Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu
beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang
gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah
(scientific method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan
iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas,
memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini,
adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan
aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak,
makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan
aturan muamalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara
garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya,
terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang
memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi
sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-dinan al-hayah).
Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam
hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan
umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara
ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis
(berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan
dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari
ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu
tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa
berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini
mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma
sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan
keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal
manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara
ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari
kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran
Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang agama (Kristen) sebagai candu
masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan
penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
Religion is the sigh of the oppressed
creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a
spiritless situation. It is the opium of the people.
(Agama adalah
keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,
sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl
Marx, Contribution to The Critique of Hegels Philosophy of Right, termuat dalam
On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka
agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu
pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme,
khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme
Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang
terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih
perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang
memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi
basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa
yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan
pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan
pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah
itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun :
bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (Qs. sl-Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah
diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman.
Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena
iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah,
yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata
putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat
manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan
meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
kepunyaan Allah-lah
apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha
meliputi segala sesuatu. (Qs. an-Nisaa` [4]: 126).
Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
2. Aqidah Islam Sebagai
Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam
dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan
aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh
Rasulullah Saw.
Paradigma Islam inilah yang seharusnya
diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap
membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya
hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler
inilah yang bisa menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti
orang Islam, diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak
kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa
tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan
keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak
belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus
dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental dan perombakan total. Dengan
cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang
memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang seharusnya
dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.
Namun di sini perlu dipahami dengan
seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan berarti
konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi
maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok
ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya
(Al-Baghdadi, 1996: 12).
3. Syariah Islam Standar
Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek,
adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan
halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam
pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan,
adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak
boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan
pada banyak ayat dan juga hadits yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan
perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan
Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:
Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Qs. al-Araaf [7]: 3).
[528] Maksudnya:
pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan.
Sabda Rasulullah Saw:
Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang
tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak. [HR. Muslim].
Kesimpulan
v
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa
menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang
yang menggunakannya. Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini
oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi
kehidupan manusia agar tidak menimbulkan dampak negatif.
v
peran Islam yang utama dalam perkembangan
iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai
paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya
paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun
struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar
penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
(utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek. Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah
akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya:
Kalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs. al-A’raaf [7]:
96).