Al-jarh
wat ta’dil adalah sebuah metode yang dipakai para ulama Ahlus Sunnah untuk
menjaga kemurnian ajaran Islam. Pada intinya, ia berisi pujian terhadap segala
yang bersesuaian dengan Al Qur`an dan As Sunnah serta celaan terhadap segala
yang berlawanan dengan keduanya. Prinsip ini telah menjadi pedang Ahlus Sunnah
bagi segenap ahlul bid’ah yang ingin melakukan perusakan terhadap agama. Tak
heran banyak pengikut hawa nafsu mencoba meruntuhkan prinsip ini agar
kebid’ahan mereka bisa dianggap sebagai agama. Namun sampai hari kiamat, mereka
tak akan pernah mampu melakukannya.
Pengertian
Al-Jarh wat Ta’dil
Secara
bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim ( جَ );
jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata.
Kalau di-dhammah-kan ( جُ ) jurh
dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya. Adapula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani
yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang
menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang. Secara istilah, jarh
adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan
periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun
ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau
menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang
sebaliknya dari jarh. Asy-Syaikh
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani t mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat ta’dil
ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi
melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui
tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
1. kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap
suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi
(yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari
sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya
ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang
diragukan untuk diterima, inipun ditolak
2. Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata
rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).”
(Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Di
antara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat
ta’dil ini adalah:Firman Allah I:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù
br&
(#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB
óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibahkepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat
ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti
kebenaran berita) dari seseorang yang fasik.
Kemudian
sabda Nabi yang dijadikan dasar (hukum)
tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):
“Semoga
Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian dia
menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang
yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR.
At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im,
Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh
At-Tirmidzi: “Hadits hasan.”)
Al-Imam
An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan: “Jadi, al-jarh
(kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau riwayat adalah
boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya
kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang
mulia ini.” Kemudian
beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah
dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut (meneliti
kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang
(sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang
yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar.
Dan dia akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang
tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi .”
Syarat-syarat yang Melakukan al-Jarh Wa at-Ta`dil
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap
ulama lainnya melainkan harus jelas dulu sebab-musabab penilaian tersebut.
Terkadang orang yang menganggap orang lain cacat malah orang tersebut yang
cacat. Beranjak dari sanalah dalam kajian al-jarh wa
at-ta`dil selaku ilmu penilaian perawi hadis, terdapat dua kategori
syarat, pertama syarat bagi pelaku yang melakukan al-jarh wa
at-ta`dil dan kedua bagi al-jarhwa at-ta`dil itu
sendiri. Adapaun mengenai syarat bagi ulama yang melakukan al-jarh wa
at-ta`dil adalah :
1). Berilmu,bertakwa, wara’ dan jujur,
2). Ulama tersebut mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta`dil,
3).Mengetahui ungkapan bahasa arab dan
penggunaan lafal dengan benar.
Sementara syarat diterimanya al-jarh wa at-ta`dil adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan sebab-sebab melakukan al-jarh dan
tidak perlu menjelaskannya bagi yang melakukan ta`dil
2. Tidak melakukan al-jarh terhadap
perawi yang sama sekali tidak ada ulama yang mengta`dilnya.
3. Al-Jarh terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya. Salah satu
hal yang menghalangi diterimanya al-jarh adalah keadaan si
penilai termasuk dalam orang yang majruh (dinilai memiliki
sifat tercela).
Cara Mengetahui Keadilan Perawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan
berikut:
1. Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli
ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti dikenalnya sebagai
orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan as-Sauri,
Sya`ban bin al-Hajjaj, asy-Syaf`i, Ahmad dan lain-lain. Oleh karena mereka
sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka
tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
2. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyyah).
Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi
yang dita`dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyyahini dapat dilakukan
oleh:
1. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta`dilkan. Sebab jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu, jumlah tersebut
tidak menjadi syarat pula untuk menta`dilkan seorang rawi. Demikian
pendapat kebanyakan ulama hadis berlainan dengan pendapat para fuqaha yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalammentazkiyahkan seorang
rawi.
2. Setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka
maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Menilik kepada fakta sejarah tentang perkembangan al-jarh wa
at-ta`dil dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui sifat pribadi
perawi ada dua metode dasar, yaitu :
1. Melalui lisan, dimana seorang kritikus
hadis mendengarkan dari gurunya yang menjelaskan tentang sifat-sifat perawi
sebelumnya, yang mana metode ini dikenal dengan istilah metode at-tahammul
wa al-ada’.
2. Melalui literatur, mengetahui sifat perawi
dengan menggunakan literatur tentunya adalah membaca hasil simpulan para
peneliti sifat perawi sebelumnya, tentunya bahan bacaan yang dijadikan sebagai
literatur utama adalah kitab-kitab yang menjelaskan sifat-sifat perawi,
misalnya al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat
al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani dan kitab
lain yang menjelaskan sifat rijal al-hadis.
Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya
juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
a) Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi
dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau
pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah
kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b) Berdasarkan pentajrihan dari
seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian
ketetapan yang dipegangi oleh para ulama hadis, sedang menurut para ulama fikih
sekurang-kurangnya harusditajrih oleh dua orang laki-laki yang
adil.
Beranjak dari kecacatan perawi, Fathur Rahman telah menyimpulkan ada 5
aspek dasar yang dianggap sebagai sebab-sebab boleh dihukumkan perawi tersebut
memiliki cacat yang dikenal dengan istilah asbab at-ta`ni (aspek
cacat perawi), yaitu :
1. Bid’ah (perawi tersebut melakukan hal yang dianggap seabgai perbuatan
bid’ah)
2. Mukhtalafah (berbeda dengan perawi lain dalam periwayatan matan hadis)
3. Ghalath (banyak keliru dalam periwayatan)
4. Jahalat al-Hal (tidak dikenal identitasnya)
5. Da’wal al inqitha` (dicurigai sanadnya tidak tersambung)
Beberapa Kaidah al-Jarh Wa at-Ta`dil
Sepanjang kajian al-jarh wa at-ta`dil banyak
ketentuan dan kaidah yang harus diikuti dan kaidah itu umumnya masih belum
tersusun secara sistematis yang intinya adalah tentang pegangan antara al-jarh dan at-ta`dil yang
diamalkan di saat terjadi perbedaan penilaian kritikus dalam memberikan
pujian atau celaan terhadap perawi hadis. Maka dalam hal ini diperlukan
penelitian lebih lanjut tentang yang sebenarnya. Terkadang sebagian mentajrihkan
berdasarkan informasi jarh yang ia terima mengenai perawi yang
bersangkutan, kemudian perawi tersebut bertaubat dan diketahui oleh sebagian
yang lain kemudian menta`dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak
ada pertentangan antara keduanya.
Cara Penyelesaian Kaidah Kontradiktif dalam al-Jarh wa at-Ta`dil
Merujuk kepada kesimpulan Prof. Ramli Abdul Wahid dalam dua bukunya Kamus
Lengkap Ilmu Hadis dan Studi Ilmu Hadis, terdapat
enam kaidah yang harus diketahui dalam kajian ilmu al-jarh wa
at-ta`dil untuk menyelesaikan perbedaan penilaian antara mu’addil dan jarih terhadap
perawi hadis yaitu :
“ Celaan didahulukan atas
pujian”
Maksudnya apabila seorang perawi yang dinilai oleh kritikus hadis, tentunya
adakalanya penilaian berupa pujian adakala berupa celaan. Maka yang didahulukan
adalah penilaian tercela. Kaidah ini didasarkan kepada dua alasan, Pertama kritikus
yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi periwayat yang
dinilainya ketimbang orang yang yang menilainya adil. Kedua adalah
yang menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang
yang dinilainya, di mana persangkaan baik itu akan dikalahkan bila ternyata
perawi tersebut memiliki celaan yang dinilai oleh kritikus lain.
Kaidah ini banyak didukung oleh kalangan ulama hadis, ulama fikih dan ulama
usul fikih. Banyak dari mereka yang menganut teori ini, dan tentunya pengamalan
terhadap teori ini tanpa meninggalkan alasan terhadap celaan yang dialamatkan
kepada perawi yang dijarihkan tersebut.
“ Pujian didahulukan atas celaan”
Maksudnya kaidah ini adalah kebalikan dari kaidah yang sebelumnya, landasan
kaidah ini adalah kembali melihat kepada dasar sifat terpuji yang dimiliki oleh
perawi tentunya pujianlah yang tepat diberikan kepada seorang perawi meskipun
ada juga kritikus yang menilainya tercela belakangan waktu. Salah satu ulama
yang mendukung kaidah ini adalah an-Nasai (w.303 H/915 M). Pada umumnya ulama
hadis tidak menerima kaidah ini karena dalam hubungan ini kritikus yang
memberikan pujian tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat
yang dinilainya tersebut padahal hal itu diketahui oleh kritikus lainnya.
Ada juga yang berpendapat dalam pemberlakuan kaidah ini dilihat kepada
jumlah pengkritik, jika yang memuji (mua’ddil) lebih banyak dari yang
mencela (jarih) maka yang akan dimenangkan adalah sifat ta`dilnya.
Sebab, jumlah yang banyak itu menguatkan keadaan mereka yang mengakibatkan
hadisnya dapat diterima dan diamalkan. Menurut al-Bulqaini, ta`dil didahulukan
daripada jarh jika mu’addil lebih banyak hafalan
hadisnya di saat antara mu’addil dan jarih memilki
jumlah yang sama.
“ Jika terjadi pertentangan
antara yang memuji dan yang mencela, maka yang didahulukan adalah orang yang
memujinya, kecuali yang mencela menyertai celaannnya dengan alasan dan sebabnya.”
Maksudnya adalah
di saat terjadi pertentangan antara orang yang memuji dan mencela seorang
seorang perawi hadis, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang
memuji kecuali pengkritik tersebut menyertakan alasan dan bukti kenapa
perawi tersebut dicela. Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya
perawi dianggap dia lebih mengetahui pribadi perawi ketimbang yang memberikan
penilaian terpuji. Inilah pandangan ulama fikih, usul fikih dan jumhur ulama
hadis. Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan tentang celaan yang
dikemukan itu harus relevan dengan mengetahui juga sebab-sebab tercelanya
periwayat yang dinilainya itu dan para ulama memandang bahwa sebab tercelanya
tidak relevan atau telah hilang dari periwayat yang bersangkutan dengan
bertaubat, maka yang memuji ketika itu diutamakan.
“Tidak diterima kritikan tercela
dari orang yang tergolong lemah (dhaif) terhadap perawi yang ?iqah”
Maksudnya apabila kritikus yang menilai seorang perawi itu tidak ?iqah sedangkan
perawi yang dinilainya tersebut?iqah maka kritikan tersebut tidak
diterima (ghairu maqbul) atau tertolak. Sebab, orang
yang ?iqah dikenal lebih hati-hati daripada orang yang tidak ?iqah dan
kaidah ini didukung oleh jumhur ulama hadis.
“ Celaan tidak diterima
kecuali sesudah benar-benar yakin karena dikhawatirkan terjadi kesamaan orang
yang dicelanya”
Maksudnya adalah apabila nama seorang perawi memiliki kesamaan atau
kemiripan dengan nama periwayat yang dicela, maka celaan itu tidak dapat
diterima kecuali sesudah dapat dipastikan bahwa kritik itu terhindar dari
kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama. Alasannya adalah bahwa
suatu kritik harus jelas sasarannya, pendukung pendapat ini adalah jumhur ulama
hadis.
“ Celaan yang terjadi akibat
permusuhan duniawi tidak diperhatikan”
Maksudnya apabila seorang kritikus diketahui memiliki permusuhan dalam
masalah keduniaann dengan periwayat yang dinilainya tersebut, maka kritikannya
terhadap periwayat tersebut tidak dapat diterima. Alasannya adalah karena
pertentangan dalam masalah keduniaan dapat menyebakan lahirnya penilaianya yang subjektif
hal ini terjadi karena sebagai manusia, kritikus mungkin memberikan
penilain tercela karena didorong oleh rasa kebencian.
Menelaah dari enam kaedah tersebut, di saat terjadinya perbedaan penilaian
antara yang memuji dan yang mencela, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jarh didahulukan
secara mutlaq, karena yang mentajrih lebih mengetahui
sifat pribadi perawi, inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
2. Ta`dil didahulukan dari jarh manakala yang menta`dil memiliki
jumlah yang banyak.
3. Bila jarh dan ta`dil bertentangan,
salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang
mengukuhkan salah satunya, maka dihentikan sementara sampai diketahui mana yang
lebih kuat diantaranya.
4. Tetap dalam ta’arrud bila
tidak ditemukan yang mentajrihkannya.
Klasifikasi Kritikus Hadis
Dalam memberikan penilaian terhadap periwayat, ulama kritikus hadis terbagi
dalam tiga tingkatan klasifikasi, kelompok yang sangat ketat (mutasyaddid),
kelompok yang bersikap longgar (mutasahil) dan kelompok yang moderat (mu`tadil). Penilaian
positif yang diberikan olehg kelompok mutasyaddid diperpegangi
secara maksimal dan penilaian negatifnya tidak diperhatikannya jika bertentangan
dengan penilaian kritikus lain.
Ulama yang termasuk dalam tiga klasifikasi kelompok tersebut adalah :
1. Kelompok mutasyaddid ialah
al-Jaujazani, Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu`bah, Ibn al-Qattan,
Ibn Ma`in, Ibn al-Madini dan Yahya al-Qaththan.
2. Kelompok mutasahil ialah
Tarmizi, al-Hakim, Ibn Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi`I, ath-Thabrani, Abu Bakar
al-Haitsami, al-Munziri, Ibn Khuzaimah, Ibn as-Sakkan, dan al-Baghawi.
3. Kelompok mu`tadil ialah
al-Bukhari, ad-Daruqutni, Ahmad, Abu Zar`ah, Ibn `Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar
al-`Asqalani.
Penilaian ta`dil dari kelompok yang bersikap ketat
dipandang kuat, sedang enilaian negative mereka tidak diterima jika jika
bertentangan dengan penilaian kelompok lainnya. Penilaian ta`dil oleh
kelompok mutasahil perlu diperbandingkan dengan penilaian
kelompok lainnya.
Tokoh Dan Karya Terpopuler Dalam Bidang Al-Jarh Wa At-Ta`dil
Ilmu al-jarh wa at-ta`dil tumbuh bersama periwayatan
dalam Islam, dimana untuk mengetahui hadis yang shahih diperlukan ilmu
pengetahuan tentang perawinya yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu
menilai kejujuran atau kedustaannya sehingga mereka akan mampu membedakan
antara yang bisa diterima dari yang ditolaknya. Dengan ilmu ini mereka
mengetahui sifat pribadi perawi hadis yang diterimanya, ada yang paling hafid,
yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama belajar dengan gurunya.
Para imam Hadis sangat cermat dalam menilai para periwayat, setiap muhaddis akan
mereka teliti sifat positif dan negatifnya. Imam Syafi`i berkata “ Demi
Allah, seandainya saya menemukan kebenaran kebenaran sebanyak sembilan puluh
sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali saja saja, maka mereka akan
menilaiku berdasarkan satu kali saja”. Dan menurut jumhur ulama bahwa
menjelaskan hal ihwal perawi ini tidak termasuk ghibath, justru
mengandung unsur pemeliharaan terhadap sunnah dan menjaganya dari segala macam
penyusupan serta penjelasan yang shahih dari yang dha’if. Mereka
menjelaskankannya dengan penuh kejujuran dan keikhlasan.
Di antara para ahli al-jarh wa at-ta`dil terkemuka
adalah Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) dan ‘Amir asy-Sya`bi (19-103 H) dari
golongan tabiin. Selanjutnya Syu`bah ibn al-Hajjaj (82-160H) dan
Malik bin Anas (93-179H). Selain itu Sufyan ibn `Uyainah (107-198 H),
‘Abdurrahman ibn Mahdiy (135- 198 H), Yahya ibn Ma’in (158 – 233 H), Imam Ahmad bin Hambal (162- 241 H) dan Imam
‘Ali ibn ‘Abdullah al-Madini (161 – 234 H).
Setelah itu pada generasi setelah mereka, muncul pula kritikus yang lain
yang terkemuka di antaranya: Muhammad bin ‘Ismail al-Bukhari (194 – 256 H), Abu
Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (195 – 277 H), Abu Zur’ah ‘Ubaidillah bin
Abdul Karim ar-Razi (200 – 264 H). Setelah itu muncul pula generasi demi
genarasi ahli al-jarh wa at-ta`dil yang memberikan andil
dalam pemeliharan Sunnah dan membedakan antar Hadis yang shahih dengan yang
cacat.
Karya-karya yang memuat bidang al-jarh wa ta`dil bisa
kita lihat kembali sejarah pengkodifikasian ilmu Hadis pada abad 2 H, di
mana ilmu ini juga merupakan benih yang muncul dari pengkodifikasian hadis.
Sedangkan karya standart terkait ilmu ini mencapai sekitar empat puluhan,
baik yang dicetak maupun yang masih berbentuk manuskrip sampai abad 7 H. Karya
yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab Ma’rifat ar-Rjal hasilkarya
Yahya ibn Ma’in, Kitab ad-Du’afa’ karya Imam
Bukhari dan ad-Du’afa’ wa al-Matrukin karangan
Imam Ahmad ibn Syu’ib `Ali an-Nasa’i (215 – 303 H). Sedangkan yang paling
lengkap diantara karya ulama awal dalam bidang ini adalah kitab al-Jarh wa
Ta`dil karya Abdurrahman ibn Abi Hatim ar-Razi (240 – 327 H). Termasuk
karya yang juga populer dalam bidang ini adalah kitab a?-?iqah karangan
Abi Hatim dan al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa
‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani (277 -365
H), kitab Mizan al-I’tidalkarya Imam Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad
az-Zahabi (673- 748 H) dan kitab karya Ibn Hajar al-`Asqalani yaitu kitab Lisan
al-Mizan.
Tinjauan Analitik
Salah satu hal yang menjadi tinjauan al-jarh wa at-ta`dil adalah
akan digugurkan pengamalan terhadap hadist yang dijarh. tinjauan
utama dilakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah untuk
melahirkan keorisinilitas Hadis Rasul.
Perawi yang ditajrihkan dan yang dita`dilkan, di
antara ulama hadist dan ulama fikih berbeda tinjauan mereka terhadap pengamalan
hadist tersebut. Kalangan fuqaha lebih mendahulukan (mentaqdim)
tinjauan ta`dil sedangkan kalangan ulama hadis lebih mengunggulkan
unsur al-jarh. Hal ini menurut analisa penulis adalah berbeda tinjau
mereka dalam melihat kualitas hadis. Di mana ulama hadis melihat kualitas
periwatan dan sanad hadis dan benar-benar terjaga perawi dari hal-hal yang
dicela sedangkan tinjauan ulama fikih adalah melahirkan konsep hukum dari
hadis, maka dalam hal ini ulama fikih tidak terlalu menfilterkan
(mendahulukan ta`dil dari al-jarh) apalagi terhadap
amalan yang bersifat fadhail a’mal.
Penutup
Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil merupakan ilmu untuk
mengetahui sifat-sifat pribadi para perawi hadis Rasulullah, di mana ilmu ini
membicarakan tentang hal-ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau
ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat
dipahami pentingnya kedudukan ‘ilmu al- jarh wa
at-ta`dil ini dalam Islam karena dengan ilmu inilah seseorang dapat
mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah hadis.
Dengan ilmu ini kita juga dapat mengatahui ke?iqahan seorang perawi
dengan lainnya, karena para tokoh dalam ilmu al-jarh wa at-ta`dil telah
menyimpulkan sifat dan penilaian mereka terhadap para perawi hadis. Hal ini
dapat dilihat dalam keragaman hasil karya mereka dalam karya-karya yang memuat
ilmu al-jarh wa at-ta`dil .
bagi temen temen gpai2 yang mau nyumbang file,, tentang mata kuliah, di persilahkan,
BalasHapussebagai bahan pelajaran kita bersama.