Rabu, 09 Mei 2012

‘ILM AL-JARH WA AL-TA’DIL


Al-jarh wat ta’dil adalah sebuah metode yang dipakai para ulama Ahlus Sunnah untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Pada intinya, ia berisi pujian terhadap segala yang bersesuaian dengan Al Qur`an dan As Sunnah serta celaan terhadap segala yang berlawanan dengan keduanya. Prinsip ini telah menjadi pedang Ahlus Sunnah bagi segenap ahlul bid’ah yang ingin melakukan perusakan terhadap agama. Tak heran banyak pengikut hawa nafsu mencoba meruntuhkan prinsip ini agar kebid’ahan mereka bisa dianggap sebagai agama. Namun sampai hari kiamat, mereka tak akan pernah mampu melakukannya.

Pengertian Al-Jarh wat Ta’dil
Secara bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim ( جَ ); jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan ( جُ ) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya. Adapula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang. Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani t mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
1. kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak
2. Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Di antara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah:Firman Allah I:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibahkepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik.
Kemudian sabda Nabi  yang dijadikan dasar (hukum) tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh At-Tirmidzi: “Hadits hasan.”)
Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan: “Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang mulia ini.” Kemudian beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang (sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi .”

Syarat-syarat yang Melakukan al-Jarh Wa at-Ta`dil

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya melainkan harus jelas dulu sebab-musabab penilaian tersebut. Terkadang orang yang menganggap orang lain cacat malah orang tersebut yang cacatBeranjak dari sanalah dalam kajian al-jarh wa at-ta`dil selaku ilmu penilaian perawi hadis, terdapat dua kategori syarat, pertama syarat bagi pelaku yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil dan kedua bagi al-jarhwa at-ta`dil itu sendiri. Adapaun mengenai syarat bagi ulama yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah :
1). Berilmu,bertakwa, wara’ dan jujur,
2). Ulama tersebut mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta`dil,
3).Mengetahui ungkapan bahasa arab dan penggunaan lafal dengan benar.
4). Penialaian al-jarh wa at-ta`dil dilakukan oleh orang adil[26] dan menjauhi fanatik golongan.
Sementara syarat diterimanya al-jarh wa at-ta`dil adalah sebagai berikut:
1.    Menjelaskan sebab-sebab melakukan al-jarh dan tidak perlu menjelaskannya bagi yang melakukan ta`dil
2.    Tidak melakukan al-jarh terhadap perawi yang sama sekali tidak ada ulama yang mengta`dilnya.
3.    Al-Jarh terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya. Salah satu hal yang menghalangi diterimanya al-jarh adalah keadaan si penilai termasuk dalam orang yang majruh (dinilai memiliki sifat tercela).

Cara Mengetahui Keadilan Perawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:
1.    Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan as-Sauri, Sya`ban bin al-Hajjaj, asy-Syaf`i, Ahmad dan lain-lain. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
2.    Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita`dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyyahini dapat dilakukan oleh:
1.    Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta`dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta`dilkan seorang rawi. Demikian pendapat kebanyakan ulama hadis berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalammentazkiyahkan seorang rawi.
2.    Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Menilik kepada fakta sejarah tentang perkembangan al-jarh wa at-ta`dil  dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui sifat pribadi perawi ada dua metode dasar, yaitu :
1.    Melalui lisan, dimana seorang kritikus hadis mendengarkan dari gurunya yang menjelaskan tentang sifat-sifat perawi sebelumnya, yang mana metode ini dikenal dengan istilah metode at-tahammul wa al-ada’.
2.    Melalui literatur, mengetahui sifat perawi dengan menggunakan literatur tentunya adalah membaca hasil simpulan para peneliti sifat perawi sebelumnya, tentunya bahan bacaan yang dijadikan sebagai literatur utama adalah kitab-kitab yang menjelaskan sifat-sifat perawi, misalnya al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani  dan kitab lain yang menjelaskan sifat rijal al-hadis.
Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
a)    Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b)      Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para ulama hadis, sedang menurut para ulama fikih sekurang-kurangnya harusditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
Beranjak dari kecacatan perawi, Fathur Rahman telah menyimpulkan ada 5 aspek dasar yang dianggap sebagai sebab-sebab boleh dihukumkan perawi tersebut memiliki cacat yang dikenal dengan istilah asbab at-ta`ni (aspek cacat perawi), yaitu :
1.    Bid’ah (perawi tersebut melakukan hal yang dianggap seabgai perbuatan bid’ah)
2.    Mukhtalafah (berbeda dengan perawi lain dalam periwayatan matan hadis)
3.    Ghalath (banyak keliru dalam periwayatan)
4.    Jahalat al-Hal (tidak dikenal identitasnya)
5.    Da’wal al inqitha` (dicurigai sanadnya tidak tersambung)

Beberapa Kaidah al-Jarh Wa at-Ta`dil
Sepanjang kajian al-jarh wa at-ta`dil banyak ketentuan dan kaidah yang harus diikuti dan kaidah itu umumnya masih belum tersusun secara sistematis yang intinya adalah tentang pegangan antara al-jarh dan  at-ta`dil yang diamalkan di saat terjadi perbedaan penilaian kritikus  dalam memberikan pujian atau celaan terhadap perawi hadis. Maka dalam hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut tentang yang sebenarnya. Terkadang sebagian mentajrihkan berdasarkan informasi jarh yang ia terima mengenai perawi yang bersangkutan, kemudian perawi tersebut bertaubat dan diketahui oleh sebagian yang lain kemudian menta`dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada pertentangan antara keduanya.

Cara Penyelesaian Kaidah Kontradiktif dalam al-Jarh wa at-Ta`dil
Merujuk kepada kesimpulan Prof. Ramli Abdul Wahid dalam dua bukunya  Kamus Lengkap Ilmu Hadis  dan Studi Ilmu Hadis, terdapat enam kaidah yang harus diketahui dalam kajian ilmu al-jarh wa at-ta`dil untuk menyelesaikan perbedaan penilaian antara mu’addil dan jarih terhadap perawi hadis yaitu :
 “ Celaan didahulukan atas pujian” 

Maksudnya apabila seorang perawi yang dinilai oleh kritikus hadis, tentunya adakalanya penilaian berupa pujian adakala berupa celaan. Maka yang didahulukan adalah penilaian tercela. Kaidah ini didasarkan kepada dua alasan, Pertama kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang yang menilainya adil. Kedua adalah yang menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang yang dinilainya, di mana persangkaan baik itu akan dikalahkan bila ternyata perawi tersebut memiliki celaan yang dinilai oleh kritikus lain.
Kaidah ini banyak didukung oleh kalangan ulama hadis, ulama fikih dan ulama usul fikih. Banyak dari mereka yang menganut teori ini, dan tentunya pengamalan terhadap teori ini tanpa meninggalkan alasan terhadap celaan yang dialamatkan kepada perawi yang dijarihkan tersebut.
 “ Pujian didahulukan atas celaan” 

Maksudnya kaidah ini adalah kebalikan dari kaidah yang sebelumnya, landasan kaidah ini adalah kembali melihat kepada dasar sifat terpuji yang dimiliki oleh perawi tentunya pujianlah yang tepat diberikan kepada seorang perawi meskipun ada juga kritikus yang menilainya tercela belakangan waktu. Salah satu ulama yang mendukung kaidah ini adalah an-Nasai (w.303 H/915 M). Pada umumnya ulama hadis tidak menerima kaidah ini karena dalam hubungan ini kritikus yang memberikan pujian tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya tersebut padahal hal itu diketahui oleh kritikus lainnya.
Ada juga yang berpendapat dalam pemberlakuan kaidah ini dilihat kepada jumlah pengkritik, jika yang memuji (mua’ddil) lebih banyak dari yang mencela (jarih) maka yang akan dimenangkan adalah sifat ta`dilnya. Sebab, jumlah yang banyak itu menguatkan keadaan mereka yang mengakibatkan hadisnya dapat diterima dan diamalkan. Menurut al-Bulqaini, ta`dil didahulukan daripada jarh jika mu’addil lebih banyak hafalan hadisnya di saat antara mu’addil dan jarih memilki jumlah yang sama.
 “ Jika terjadi pertentangan antara yang memuji dan yang mencela, maka yang didahulukan adalah orang yang memujinya, kecuali yang mencela menyertai celaannnya dengan alasan dan sebabnya.”

 Maksudnya adalah di saat terjadi pertentangan antara orang yang memuji dan mencela seorang seorang perawi hadis, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali pengkritik tersebut menyertakan alasan dan bukti  kenapa perawi tersebut dicela. Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya perawi dianggap dia lebih mengetahui pribadi perawi ketimbang yang memberikan penilaian terpuji. Inilah pandangan ulama fikih, usul fikih dan jumhur ulama hadis. Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan tentang celaan yang dikemukan itu harus relevan dengan mengetahui juga sebab-sebab tercelanya periwayat yang dinilainya itu dan para ulama memandang bahwa sebab tercelanya tidak relevan atau telah hilang dari periwayat yang bersangkutan dengan bertaubat, maka yang memuji ketika itu diutamakan.
 “Tidak diterima kritikan tercela dari orang yang tergolong lemah (dhaif) terhadap perawi yang ?iqah”

Maksudnya apabila kritikus yang menilai seorang perawi itu tidak ?iqah sedangkan perawi yang dinilainya tersebut?iqah maka kritikan tersebut tidak diterima (ghairu maqbul) atau tertolak.  Sebab, orang yang ?iqah dikenal lebih hati-hati daripada orang yang tidak ?iqah dan kaidah ini didukung oleh jumhur ulama hadis.
 “ Celaan tidak diterima kecuali sesudah benar-benar yakin karena dikhawatirkan terjadi kesamaan orang yang dicelanya”

Maksudnya adalah apabila nama seorang perawi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat yang dicela, maka celaan itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dapat dipastikan bahwa kritik itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama. Alasannya adalah bahwa suatu kritik harus jelas sasarannya, pendukung pendapat ini adalah jumhur ulama hadis.
 “ Celaan yang terjadi akibat permusuhan duniawi tidak diperhatikan”

Maksudnya apabila seorang kritikus diketahui memiliki permusuhan dalam masalah keduniaann dengan periwayat yang dinilainya tersebut, maka kritikannya terhadap periwayat tersebut tidak dapat diterima. Alasannya adalah karena pertentangan dalam masalah keduniaan dapat menyebakan lahirnya penilaianya yang subjektif  hal ini terjadi karena sebagai manusia,  kritikus mungkin memberikan penilain tercela karena didorong oleh rasa kebencian.
Menelaah dari enam kaedah tersebut, di saat terjadinya perbedaan penilaian antara yang memuji dan yang mencela, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Jarh didahulukan secara mutlaq, karena yang mentajrih lebih mengetahui sifat pribadi perawi, inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
2.    Ta`dil didahulukan dari jarh  manakala yang menta`dil memiliki jumlah yang banyak.
3.    Bila jarh dan ta`dil bertentangan, salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, maka dihentikan sementara sampai diketahui mana yang lebih kuat diantaranya.
4.    Tetap dalam ta’arrud bila tidak ditemukan yang mentajrihkannya.

Klasifikasi Kritikus Hadis
Dalam memberikan penilaian terhadap periwayat, ulama kritikus hadis terbagi dalam tiga tingkatan klasifikasi, kelompok yang sangat ketat (mutasyaddid), kelompok yang bersikap longgar (mutasahil) dan kelompok yang moderat (mu`tadil). Penilaian positif yang diberikan olehg kelompok mutasyaddid diperpegangi secara maksimal dan penilaian negatifnya tidak diperhatikannya jika bertentangan dengan penilaian kritikus lain.

Ulama yang termasuk dalam tiga klasifikasi kelompok tersebut adalah :
1.    Kelompok mutasyaddid ialah al-Jaujazani, Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu`bah, Ibn al-Qattan, Ibn Ma`in, Ibn al-Madini dan Yahya al-Qaththan.
2.    Kelompok mutasahil ialah Tarmizi, al-Hakim, Ibn Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi`I, ath-Thabrani, Abu Bakar al-Haitsami, al-Munziri, Ibn Khuzaimah, Ibn as-Sakkan, dan al-Baghawi.
3.    Kelompok mu`tadil ialah al-Bukhari, ad-Daruqutni, Ahmad, Abu Zar`ah, Ibn `Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar al-`Asqalani.
Penilaian ta`dil dari kelompok yang bersikap ketat dipandang kuat, sedang enilaian negative mereka tidak diterima jika jika bertentangan dengan penilaian kelompok lainnya. Penilaian ta`dil oleh kelompok mutasahil perlu diperbandingkan dengan penilaian kelompok lainnya.

Tokoh Dan Karya Terpopuler Dalam Bidang Al-Jarh Wa At-Ta`dil
Ilmu al-jarh wa at-ta`dil tumbuh bersama periwayatan dalam Islam, dimana untuk mengetahui hadis yang shahih diperlukan ilmu pengetahuan tentang perawinya yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujuran atau kedustaannya sehingga mereka akan mampu membedakan antara yang bisa diterima dari yang ditolaknya. Dengan ilmu ini mereka mengetahui sifat pribadi perawi hadis yang diterimanya, ada yang paling hafid, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama belajar dengan gurunya.
Para imam Hadis sangat cermat dalam menilai para periwayat, setiap muhaddis akan mereka teliti sifat positif dan negatifnya. Imam Syafi`i berkata “ Demi Allah, seandainya saya menemukan kebenaran kebenaran sebanyak sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali saja saja, maka mereka akan menilaiku berdasarkan satu kali saja”. Dan menurut jumhur ulama bahwa menjelaskan hal ihwal perawi ini tidak termasuk ghibath, justru mengandung unsur pemeliharaan terhadap sunnah dan menjaganya dari segala macam penyusupan serta penjelasan yang shahih dari yang dha’if. Mereka menjelaskankannya dengan penuh kejujuran dan keikhlasan.
Di antara para ahli al-jarh wa at-ta`dil terkemuka adalah Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) dan ‘Amir asy-Sya`bi  (19-103 H) dari golongan tabiin. Selanjutnya Syu`bah ibn al-Hajjaj (82-160H) dan Malik bin Anas (93-179H). Selain itu Sufyan ibn `Uyainah (107-198 H), ‘Abdurrahman ibn Mahdiy (135- 198 H), Yahya ibn Ma’in (158 – 233 H), Imam  Ahmad bin Hambal (162- 241 H) dan Imam ‘Ali ibn ‘Abdullah al-Madini (161 – 234 H).
Setelah itu pada generasi setelah mereka, muncul pula kritikus yang lain yang terkemuka di antaranya: Muhammad bin ‘Ismail al-Bukhari (194 – 256 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (195 – 277 H), Abu Zur’ah ‘Ubaidillah bin Abdul Karim ar-Razi (200 – 264 H). Setelah itu muncul pula generasi demi genarasi ahli al-jarh wa at-ta`dil yang memberikan andil dalam pemeliharan Sunnah dan membedakan antar Hadis yang shahih dengan yang cacat.
Karya-karya yang memuat bidang al-jarh wa ta`dil bisa kita lihat kembali sejarah pengkodifikasian ilmu Hadis pada abad 2 H, di mana ilmu ini juga merupakan benih yang muncul dari pengkodifikasian hadis. Sedangkan  karya standart terkait ilmu ini mencapai sekitar empat puluhan, baik yang dicetak maupun yang masih berbentuk manuskrip sampai abad 7 H. Karya yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab Ma’rifat ar-Rjal hasilkarya Yahya ibn Ma’inKitab ad-Du’afa’ karya Imam Bukhari dan  ad-Du’afa’ wa al-Matrukin karangan Imam Ahmad ibn Syu’ib `Ali an-Nasa’i (215 – 303 H). Sedangkan yang paling lengkap diantara karya ulama awal dalam bidang ini adalah kitab al-Jarh wa Ta`dil karya Abdurrahman ibn Abi Hatim ar-Razi (240 – 327 H). Termasuk karya yang juga populer dalam bidang ini adalah kitab a?-?iqah karangan Abi Hatim dan al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani (277 -365 H), kitab Mizan al-I’tidalkarya Imam Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad az-Zahabi (673- 748 H) dan kitab karya Ibn Hajar al-`Asqalani yaitu kitab Lisan al-Mizan.

Tinjauan Analitik
Salah satu hal yang menjadi tinjauan al-jarh wa at-ta`dil adalah akan digugurkan pengamalan terhadap hadist yang dijarh.  tinjauan utama dilakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah untuk melahirkan keorisinilitas Hadis Rasul.
Perawi yang ditajrihkan dan yang dita`dilkan,  di antara ulama hadist dan ulama fikih berbeda tinjauan mereka terhadap pengamalan hadist tersebut. Kalangan fuqaha lebih mendahulukan (mentaqdim) tinjauan ta`dil sedangkan kalangan ulama hadis lebih mengunggulkan unsur al-jarh. Hal ini menurut analisa penulis adalah berbeda tinjau mereka dalam melihat kualitas hadis. Di mana ulama hadis melihat kualitas periwatan dan sanad hadis dan benar-benar terjaga perawi dari hal-hal yang dicela sedangkan tinjauan ulama fikih adalah melahirkan konsep hukum dari hadis, maka dalam hal ini ulama fikih tidak terlalu menfilterkan (mendahulukan ta`dil dari al-jarh) apalagi terhadap amalan yang bersifat fadhail a’mal.

 Penutup
Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil merupakan ilmu untuk mengetahui sifat-sifat pribadi para perawi hadis Rasulullah, di mana ilmu ini membicarakan tentang hal-ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat dipahami pentingnya kedudukan ‘ilmu al- jarh wa at-ta`dil ini dalam Islam karena dengan ilmu inilah seseorang dapat mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah hadis.
Dengan ilmu ini kita juga dapat mengatahui ke?iqahan seorang perawi dengan lainnya, karena para tokoh dalam ilmu al-jarh wa at-ta`dil telah menyimpulkan sifat dan penilaian mereka terhadap para perawi hadis. Hal ini dapat dilihat dalam keragaman hasil karya mereka dalam karya-karya yang memuat ilmu al-jarh wa at-ta`dil .

1 komentar:

  1. bagi temen temen gpai2 yang mau nyumbang file,, tentang mata kuliah, di persilahkan,
    sebagai bahan pelajaran kita bersama.

    BalasHapus