Jumat, 12 Oktober 2012

Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter


Pendahuluan
Hadirnya berbagai metode pendidikan dan literasi dewasa ini telah membuka mata  banyak  pihak  penyelenggara  pendidikan.  Berbagai  inovasi  baru  di  bidang  pendidikan  dan  pengajaran telah sedemikian dinamis sesuai tuntutan zaman. Sehingga, kehadirannya turut  mendukung berbagai metode yang telah sering digunakan sebelumnya.  Di  lain  pihak,  banyak  juga  penyelenggara  pendidikan  yang  masih  menggunakan  metodemetode  lama  sambil  menyesuaikan  dengan  laju  perkembangan  pendekatan  dan  metode  pengajaran  kepada  peserta  didik.  Peran  sekolah  sebagai  institusi  penyelenggara  pendidikan  pun  semakin  dituntut  guna  menciptakan  suatu  penyesuaian  antara  metode  belajar dengan tuntutan pendidikan. Penyesuaian tersebut bergerak ke arah pembentukan  karakter manusia pembelajar seumur hidup (longlife learning). 
Munculnya sekolahsekolah dengan kurikulum gabungan dari kurikulum Depdiknas  dan  kurikulum  Internasional  seperti  Cambridge  GCSE,  ALevel,  OLevel,  dan  CIPAT.  Lalu,  IB  (International  Baccalaureate)  dengan  IBPYP  dan  IBMYPDP  telah  menciptakan  suatu  cara  pengajaran  yang  baru  kepada  peserta  didik  terutama  dengan  penekanan  pada  proses  pembelajaran life skill, baik yang bisa dipelajari di dalam kelas maupun di luar kelas.  Penekanan  pembelajaran  yang  bertujuan  untuk  melatih  life  skill  peserta  didik  bisa  melibatkan  berbagai  media.  Satu  media  yang  dapat  digunakan  adalah  pembelajaran  yang  menggunakan  alam  sebagai  media.  Alam  telah  mengajarkan  banyak  hal  kepada  manusia  maka  dari  itu  tidak  salah  apabila  alam  dijadikan  media  belajar.  Alam  dengan  segenap  khazanahnya mampu menjadi sumber belajar terutama bagi pembentukan karakter peserta  didik.   
Dasar Penciptaan Alam Semesta 
Dunia ini tidak diciptakan dengan kesiasiaan sehingga apapun yang ada didalamnya  terdapat  banyak  hal  yang  mampu  jadi  sumber  pembelajaran.  Alam  ini  merupakan  suatu  anugerah yang didalamnya terdapat tandatanda kebesaran Allah SWT.  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan  siang,  terdapat  tandatanda  bagi  orang  yang  berakal.  (Yaitu)  orangorang  yang  mengingat  Allah  sambil  berdiri  atau  duduk  atau  dalam  keadaan  berbaring  dan  mereka  memikirkan  tentang  penciptaan  langit  dan  bumi  (seraya  berkata):  “Ya  Tuhan  kami,  tiadalah  Engkau  menciptakan  ini  dengan  siasia.  Maha  Suci  Engkau,  maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran, 3:190191)   
Sebagaimana  telah  dijelaskan  di  dalam  AlQur’an  bahwa  di  alam  raya  ini  terdapat  sesuatu  untuk  dipelajari  dan  dipikirkan.  Allah  SWT  telah  menciptakan  dunia  ini  dengan  sempurna sebagai rahmat yang diturunkanNya kepada manusia.  “Dan Dia menundukkan untukmu, apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi  semuanya  (sebagai  rahmat)  daripadaNya.  Sesungguhnya  pada  yang  itu  benar benar  terdapat  tandatanda  (kekuasaan  Allah)  bagi  kaum  yang  berpikir.”  (QS  Al  Jatsiyah, 45: 13)    Manusia  telah  diberikan  kelebihan  oleh  Allah  SWT  sebagai  makhluk  hidup  yang  sempurna  dengan  akalnya.  Manusia  memiliki  akal  untuk  memikirkan  apa  yang  telah  dititipkan  kepadanya  dari  Sang  Pencipta.  Manusia  harus  menyadari  untuk  menjalankan  perannya sebagai makhluk Allah dan menggunakan akal serta pikirannya untuk menjadikan  kehidupannya lebih bermakna.          
Ilmu  Sudah  sepantasnya  manusia  untuk  memikirkan  dan  mempelajari  apa  yang  telah  diwasiatkan  oleh  AlQur’an.  Manusia  sebagai  makhluk  hidup  yang  diberi  akal  oleh  penciptanya harus menggunakan akalnya itu untuk berpikir. Ilmu hadir sebagai bentuk hasil  pikiran  manusia.  Ilmu  tidak  akan  pernah  berhenti  pada  satu  titik  karena  ia  tidak  pernah  abadi. Ilmu ibarat organisme yang selalu berkembang dan menjadi penanda zaman.  “Menuntut  ilmu  itu  kewajiban  bagi  setiap  orang  Islam  baik  bagi  lakilaki  maupun  perempuan. (HR. Ibnu Abdil Baar)  “Tuntutlah ilmu (ilmu pengetahuan dan segala ilmuilmu yang bermanfaat lainnya)  dari mulai (sejak) buaian (Ayah dan Ibu) sampai masuk ke liang lahat. (AlHadits)   
Ilmu  adalah  sesuatu  yang  wajib  dimiliki  dan  dikuasai  oleh  seorang  Muslim.  Menuntut ilmu hukumnya adalah wajib. Ilmu menjadi dasar dari semua yang kita lakukan.  Tanpa  ilmu  ibadah  pun  tidak  akan  ada  artinya  dan  hilang  esensinya.  Barangsiapa  yang  mempelajari  suatu  ilmu  dengan  ikhlas  maka  telah  dijanjikan  kepadanya  kedudukan  atau  kekayaan di dunia.   “Katakanlah, Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang  tidak mengetahui.” (QS. AtTaubah, 9:122)   
Ilmu  akan  meninggikan  derajat  seseorang.  Dengan  menguasai  suatu  ilmu  tertentu  seseorang  akan  mempunyai  kekuatan.  Ilmu  menjadi  satu  kekuatan  yang  akan  mendasari  setiap  elemen  kehidupan  sebagaimana  AlQur’an  yang  telah  menjadi  dasar  bagi  peletakan  hukumhukum Islam pada zaman Nabi dan Rasul.     
“Allah  akan  meninggikan  orangorang  yang  berilmu  di  antara  kamu  dan  orang orang  yang  diberi  ilmu  pengetahuan  beberapa  derajat.  Dan  Allah  SWT  Maha  Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadillah, 58: 11)   
Ilmu  juga  adalah  bagian  dari  amalan.  Ilmu  merupakan  amalan  yang  tidak  pernah  terputus.  Ilmu  akan  tetap  mendatangkan  faedah  dan  kebaikan  bagi  mereka  yang  memiliki  dan mau memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan sesama.  “Jika mati seorang anak  Adam (manusia) maka  terputuslah  segala amal  usahanya  kecuali tiga hal yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, sedekah jariah, dan anak  yang saleh yang selalu mendo’akan kepada orangtuanya.” (HR. Muslim)   
Aplikasi Pembelajaran Ilmu di Alam 
Penyusunan  berbagai  komponen  pendidikan  dalam  mendukung  kegiatan  belajar  adalah upaya untuk mempersiapkan peserta didik bagi peranannya di masa datang. Hal ini  berkaitan dengan beberapa pertanyaan berikut: 
1.      Apa atau siapa seseorang itu? 
2.      Dapatkah seseorang itu diarahkan? 
3.      Ke arah mana seseorang itu dipersiapkan? 
4.      Bagaimana cara pengarahan yang baik bagi seseorang?   
Dengan  memperhatikan  kepada  pertanyaanpertanyaan  diatas,  maka  kecenderungan arah pendidikan mengarah kepada hasil pendidikan berupa kecerdasan yang  dimiliki  setiap  peserta  didik.  Kecerdasan  akan  menuntun  mereka  menjadi  pribadi  atau  individu yang sukses.
Kecerdasan  bukan  saja  dilihat  dari  kemampuan  anak  untuk  bisa  berhitung,  membaca dan menulis, meraih nilai yang bagus, dan memiliki IQ (Intelligence Qoutient) yang  tinggi.  Munculnya  pemikiran  lain  tentang  hubungan  antara  kecerdasan  yang  dikemukakan  oleh  Daniel  Goleman,  yaitu  EQ  atau  yang  biasa  disebut  Emotional  Quotient  dimana  diungkapkan bahwa kesuksesan merupakan perpaduan dari 80% EQ dan 20% IQ.   Karena  EQ  merupakan  faktor  yang  mendorong  tercapainya  kesuksesan,  secara  praktis  kecenderungan  pendidikan  dilaksanakan  untuk  mengarahkan  anak  agar  berani  menghadapi tantangan serta tidak takut gagal dan mau mencoba lagi (trial and error). Hal  ini sesuai dengan tujuan dari pembangunan karakter dari peserta didik.  Belajar di alam terbuka adalah satu metode alternatif guna menyampaikan materi materi  yang  tidak  dapat  disampaikan  di  dalam  kelas.  Ada  beberapa  komponen  yang  diperlukan  dalam  mempelajari  ilmu  di  alam.  Satu  yang  paling  penting  adalah  motivasi.  Motivasi  belajar  bertujuan  untuk  memantapkan  pengetahuan  tentang  ilmu  yang  dipelajari  dan  menguasai  berbagai  kemampuan  yang  dibutuhkan  untuk  mengaplikasikannya  dalam  kehidupan  seharihari.  Dengan  kata  lain,  peserta  didik  tidak  hanya  termotivasi  untuk  menguasai  dasar  teorinya  saja  tetapi  juga  aplikasi  dan  manfaatmanfaat  ilmu  yang  telah  dipelajarinya untuk kehidupannya kelak.  Motivasi  belajar  dapat  diperoleh  dari  contohcontoh  yang  mereka  dapat  selama  proses pembelajaran.
Peserta didik cenderung lebih mudah untuk melakukan sesuatu tanpa  harus  merasa  terpaksa  bila  memang  ada  figur  atau  sosok  yang  dianggap  istimewa  bagi  mereka.  Belajar  dengan  menggunakan  alam  sebagai  media  akan  menumbuhkan  potensi potensi dan bakat yang terpendam yang merupakan suatu kekhususan yang terdapat dalam  setiap individu peserta didik. Pendekatan proses belajar yang menggunakan direct line atau  hubungan  interaksi  langsung  antara  pendidik  dengan  peserta  didik  menimbulkan  suatu  korelasi yang positif dalam pembentukan karakter seseorang. 
Metodemetode  yang  digunakan  dapat  berupa  teamwork  (kerjasama)  maupun  individual  task.  Teamwork  digunakan  untuk  menumbuhkan  perasaan  memiliki, kekeluargaan,  melatih  jiwa  kepemimpinan,  dan  memupuk  rasa  solidaritas  serta  kebersamaan  dalam  mencapai  tujuan  bersama.  Sedangkan,  individual  task  berguna  untuk  menumbuhkan jiwa pemberani, memupuk rasa percaya diri, berani mencoba, dan pantang  menyerah. 
Hubungan  antara  alam  dengan  ilmu  terjalin  dengan  erat.  Alam  adalah  semacam  wahana  ekspresi  yang  bisa  juga  dijadikan  sebagai  sarana  belajar.  Pembentukan  karakter  individu  peserta  didik  haruslah  selaras  dengan  ilmu  yang  diperolehnya  di  dalam  kelas  maupun dengan ilmuilmu lainnya tentang life skill yang bisa diperoleh dan dipelajari di alam  bebas.   Pendidikan yang sifatnya hanya di dalam kelas saja tidak akan berhasil mengenalkan  peserta didik pada hidden curriculum yang bersifat untuk membentuk karakter itu sendiri. 
Pendidikan karakter itu dapat diterjemahkan dalam berbagai cara seperti berikut: 
1.      Manfaat.  Selalu  menunjukkan  manfaat  pengetahuan  yang  akan  diajarkan  bagi  peserta didik. 
2.      Kontekstual. Mengaitkan pengetahuan yang diajarkan dengan lingkungan nyata  atau keseharian anak. 
3.      Konstruktif.  Peserta  didik  mengkonstruksi  sendiri  pengetahuan  yang  dibutuhkannya. Artinya, bukan mengajar dengan metode banking (menjejalkan  pengetahuan) tetapi menjadi fasilitator. 
4.      Multiple Intelligent. Penerapan paradigma bahwa semua peserta didik memiliki  kelebihan  dan  kecerdasan  unik  yang  perlu  digali  dengan  cara  khusus.  Dengan  kata lain setiap anak juara atau bintang kelas. 
5.      Demokratis.  Peserta  didik  merasa  bebas  untuk  bertanya,  menyanggah,  mengeksplorasi dan berdebat. 
6.      Fun.  Suasana  belajar  ceria.  Bisa  diiringi/  diselingi  musik,  bernyanyi  bersama,  game , cerita humor / teladan beserta hikmahnya.    
7.      Meningkatkan  keyakinan  dan  harga  diri  peserta  didik.  Dengan  katakata  bijak,  memberi nilai, penghargaan dan  katakata yang membangkitkan percaya diri. 
8.      Belajar  yang  nyaman,  terang,  bersih,  beraroma  menyenangkan,  posisi  duduk  yang berpindahpindah. 
9.      Memfasilitasi  model  belajar  peserta  didik    yang  auditori,  visual  dan  kinestetik.  Atau gaya belajar abstrak dan konkret.  
10.  Melibatkan gerakangerakan fisik agar peserta didik aktif tidak duduk diam saja  agar potensinya tidak terpendam.   
Bila  semua  poinpoin  tersebut  sudah  bisa  dipenuhi  maka  selanjutnya  adalah  mengevaluasi  hasilnya.  Perubahan  karakter  peserta  didik  dapat  terlihat  dari  beberapa  kriteria seperti: 
1.      Fisik yang kuat dan tidak lemah 
2.      Berakhlaq mulia 
3.      Cerdik cendekia 
4.      Mandiri 
5.      Beraqidah lurus 
6.      Senantiasa beribadah dengan benar 
7.      Bersungguhsungguh dalam setiap urusannya 
8.      Pandai mengatur waktu 
9.      Bermanfaat bagi orang lain   

Penutup 
Pendidikan  adalah  suatu  cara  untuk  mengubah  taraf  hidup  masyarakat.  Melalui  pendidikan,  kita  telah  dididik  untuk  menguasai  ilmu  dan  mengaplikasikannya  dalam  kehidupan  seharihari.  Metode  pembelajaran  adalah  alat  yang  digunakan  untuk  mencapai  tujuantujuan  dari  proses  pendidikan  itu  sendiri.  Melalui  metode  pembelajaran  yang  tidak  hanya  terpusat  di  dalam  kelas  diharapkan  peserta  didik  mampu  mempelajari  ilmuilmu  pengetahuan lainnya yang akan berguna karena tidak hanya mengandalkan konsep teoritis  belaka tetapi juga gabungan antara konsep dan teori dengan konteks pembelajaran.  Pendidikan  di  alam  terbuka  tentu  memiliki  karakteristik  yang  berbeda  dengan  proses pendidikan di dalam kelas. Pendidikan yang bersifat alamiah menuntun peserta didik  untuk  tidak  sekedar  hanya  mendapatkan  ilmu  saja  tetapi  juga  mampu  untuk  menerapkannya dalam rangka bersosialisasi dengan lingkungannya. Pembentukan karakter  melalui  proses  pembelajaran  di  alam  akan  lebih  bermanfaat  karena  peserta  didik  akan  terlibat langsung dengan halhal yang lebih nyata.     Sudah  saatnya  para  pendidik  menggunakan  berbagai  metode  alternatif  demi  mencapai tujuantujuan dari pendidikan sesuai dengan visi dan misi institusinya. Pencapaian  semua  tujuan  itu  tentu  sejalan  dan  sesuai  dengan  tujuan  pendidikan  nasional  untuk  membangun manusia Indonesia seutuhnya.
   
DAFTAR PUSTAKA 
Association  for  Supervision  and  Curriculum  Development  Singapore.  1991.  ASCD  Review:  Motivation.  Singapore: ASCD 
Faridl, Miftah. 2000. Etika Islam: Nasihat Islam untuk Anda. Bandung: Penerbit Pustaka 
Gymnastiar,  Abdullah.  2004.  Aku  Bisa!:  Manajemen  Qolbu  untuk  Melejitkan  Potensi.  Bandung: MQ Publishing 
Intisari Makalah Pekan Kerohanian Remaja II 1998 (PAKAR II). Masjid Raya Habiburahman.    

Rabu, 19 September 2012

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DAN SEAGAMA



 
Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan. Sungguhpun berbeda-beda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-Tanah Air, dan sesama pemeluk agama. Kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah. Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih sayang. Kerukunan mencerminkan persatuan dan  persaudaraan. Allah SwT berfirman, 
 "Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal". (Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama saja untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan  sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa. 
Ketika pembukaan kota  Makkah, Bilal naik ke atas Kakbah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Kakbah?” “Jika Allah SwT membenci dia, pasti Ia menggantinya”, sahut yang lain. Maka turunlah ayat itu. Menurut riwayat lain, ayat itu turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah saw dengan seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah pun berkata,
“Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri kami dengan bekas budak kami?” Maka turunlah ayat tersebut.
Salah satu kaidah penafsiran Al-Qur’an: al-‘ibratu bi ‘umumillafzhi la bikhushushissabab – pegangan memahami suatu  ayat adalah redaksinya yang umum,  bukan peristiwa khusus yang menyertai turunnya. Meskipun ayat itu turun berkenaan dengan Bilal bin Rabah atau Abu Hind,  namun berlaku untuk setiap manusia. Meskipun Al- Qur’an turun pada abad ke 6 M kepada bangsa Arab, tapi berlaku untuk setiap generasi di segala zaman. Manusia memiliki beberapa dimensi persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia –ukhuwah basyariyah; (2)  persaudaraan pertalian darah– ukhuwah nasabiyah; (3) persaudaraan perkawinan semenda -ukhuwah shihriyah; (4) persaudaraan suku dan bangsa– ukhuwah sya’- biyah; (5) persaudaraan sesama pemeluk agama –ukhuwah diniyah; dan (6) persaudaraan seiman-seagama– ukhuwah imaniyah. 
Persaudaraan seiman dan seagama dicanangkan Allah SwT dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat 10-12  Secara tersirat ayat ini mengandung pesan bahwa menjaga persaudaraan dan kerukunan adalah suatu bentuk ketakwaan kepada Allah SwT. Untuk memelihara  kerukunan, Mukmin hendaknya menahan diri dari memperolok satu sama lain dan menghindari prasangka, saling mata-mematai, dan menggunjing. 
Konteks Surat Ali-Imran [3];103. tersebut, Madinah dahulu pernah diporak-porandakan oleh perang saudara dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah saw menapakkan kaki-nya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi, tempat tali persaudaraan yang tak ada bandingannya, dan menjadi poros Islam.
Terlaksananya persaudaraan Muslim itu merupakan idaman umat Islam yang terbesar. Atas dasar itulah Rasulullah saw menyampaikan khutbah berikut ketika beliau menunaikan ibadah haji wada’, haji perpisahan. 
“Ayyuhannas, camkanlah perkataanku baik-baik. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya….” 
“Ayyuhannas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu, hingga kamu sekalian menemui Tuhanmu, sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini. Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amalamalmu. Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barang siapa yang masih mempunyai amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya….”
“Perhatikan dan ketahuilah, bahwasanya seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, dan sesungguhnya kaum Muslimin itu bersaudara. Tidak dihalalkan bagi seseorang Muslim untuk merampas hak saudaranya sesama Muslim, kecuali apa yang diberikan kepadanya secara rela. Karena itu, janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri.”
Allah SwT menyebutkan keberadaan beberapa agama dalam Al-Qur’an sebagai berikut. "Mereka yang beriman kepada Al-Quran, dan mereka yang menganut agama Yahudi, kaum Shabiin dan Nasrani, - yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik. Mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih". (Al-Maidah [5]: 69) 
"Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik, - Allah akan memberi keputusan  tentang mereka pada hari kiamat. Allah menjadi Saksi atas mereka". (Al-Hajj [22]: 17)
Kebhinekaan agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agamanya. Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Mengakui keanekaragaman agama dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti, membenarkan agamaagama lain itu. 
Kerukunan dan persaudaraan antarumat beragama memperoleh landasannya pada firman Allah dalam surat Al- Mumtahanah [60]: 8 yang artinya “Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah mencintai orangorang yang adil. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Qatilah, istri Abu Bakr yang telah bercerai pada masa jahiliyah, datang kepada Asma‘ binti Abu Bakar. Asma‘ pun bertanya kepada Rasulullah saw, “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, boleh.” Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa itu. Dalam konteks tertentu Allah tidak mengizinkan orang-orang beriman menyandarkan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang tidak beriman. 
Allah SwT berfirman yang artinya "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai   pelindung; mereka saling melindungi sesama mereka. Dan orang di antara kamu yang mengikuti mereka, ia termasuk mereka. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang dlalim". (Al-Maidah [5]: 51)
Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, dan Ubadah bin ash-Shamit, salah seorang tokoh  Islam dari Bani Auf bin Khazraj yang terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ketika Bani Qainuqa‘  memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Nabi saw untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa‘ itu serta menggabungkan diri bersama Rasulullah saw dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat itu yang mengingatkan orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung mereka.
Dalam konteks akidah dan ibadah, tidak ada kerjasama dan kompromi antara orang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman. Allah SwT berfirman, Katakanlah: Hai orang-orang kafir! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang kusembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu dan agamaku untukku. (Al-Kafirun [109 ]: 1-6).
Antara persaudaraan iman dan persaudaraan kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tapi sekaligus all at once. Dari satu arah seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian, ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.
Telah ditegaskan di dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir رضي الله عنهما bahwasanya Rasulullah membaca surat ini dan juga surat Qul Huwallaahu Ahad (al-Ikhlash) dalam dua rakaat shalat thawaf. Dan di dalam kitab Shahih Muslim juga dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم pernah membaca kedua surat tersebut dalam dua rakaat shalat Shubuh (qabliyah).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah صلي الله عليه وسلم  pernah membaca dalam dua rakaat shalat sunnah sebelum Shubuh dan dua rakaat shalat setelah shalat Maghrib sebanyak duapuluh kali lebih atau sepuluh kali lebih dengan surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun) dan Qul Huwaallahu Ahad (al-Ikhlash).
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari al-Harits bin Jabalah, dia berkata, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu surat yang bisa aku baca saat akan tidur.’ Maka beliau bersabda: ‘Jika engkau akan tidur pada malam hari, maka bacalah: ‘Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun (al-Kaafiruun), karena sesungguhnya ia akan berlepas diri dari kesyirikan.” Wallaahu a’lam
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
۰۱ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ                                                                                                                          
 ۰٢ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
۰٣ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٤ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
۰٥ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
۰٦ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir!”
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. [QS. Al-Kafiruun : 1-6]
Surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, di mana ia memerintahkan untuk ikhlas di dalam mengerjakannya. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala: {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir,” ‘mencakup setiap orang kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju oleh khithab (pembicaraan) ini adalah orang-orang kafir Quraisy. Ada juga yang mengatakan bahwa karena kebodohan mereka, mereka mengajak Rasulullah صلي الله عليه وسلم untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Rabb beliau selama satu tahun juga. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya صلي الله عليه وسلم untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan, di mana Dia berfirman: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ}”Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” Yakni patung dan tandingan. {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu juga bukan penyembah Ilah yang aku sembah.” Yaitu Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kata maa di sini bermakna man (siapa).
Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman: {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Maksudnya, dan aku tidak akan pernah menyembah sembahan kalian. Artinya, aku tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi, aku akan senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Dia sukai dan ridhai. Oleh karena itu, Dia berfirman: {وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ} “Dan kamu tidak pernah(pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah.” Maksudnya, kalian tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syari’at-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri. Dengan demikian, Rasulullah terlepas dari mereka dalam segala aktivitas mereka, karena sesungguhnya setiap orang yang beribadah sudah pasti memiliki sembahan dan ibadah yang ditempuhnya. Dan Rasulullah serta para pengikutnya senantiasa beribadah kepada Allah atas apa yang Dia syari’atkan. Oleh karena itu, kalimat Islam berbunyi: لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ مُحَمّدًا رَسُول الله “Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”, artinya tidak ada sembahan kecuali Allah semata, dan tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya kecuali apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang musyrik menyembah selain Allah dengan ibadah yang tidak dizinkan oleh-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah berkata kepada mereka: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ini: {وَإِن كَذَّبُوكَ فَقُل لِّي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَاْ بَرِيءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ} Jika mereka mendustakamu, maka katakanlah, ‘Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.”‘ (QS. Yunus: 41).
Al-Bukhari mengatakan: “Dikatakan, {لَكُمْ دِينُكُمْ} Bagimu agamamu. (yaitu) kekufuran, {وَلِيَ دِينِ} ‘Dan bagiku agamaku,’ (yaitu) Islam. Di sini Allah tidak mengatakan: ‘Diinii (agama-Ku),’ karena ayat-ayat dengan menggunakan nun sehingga huruf ya dihilangkan, seperti yang Dia firmankan: {فَهُوَ يَهْدِينِ} ‘Maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku,’[2] dan juga, {وَيَشْفِينِ} ‘Dan Dia yang menyembuhkanku.’”[3] Ibnu Jarir menukil dari beberapa orang ahli Bahasa Arab bahwa hal tersebut termasuk dalam bab penekanan. Hal itu seperti firman-Nya: {{فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً} “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Alam Nasyrah: 5-6). Dan ada juga ungkapan pendukungnya.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam beberapa kitabnya, yaitu bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: {لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ} “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,” fi’il (kata kerja)nya dinafikan, karena ia merupakan kalimat fi’liyah (berawal kata kerja). {وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ} “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.” Penerimaan hal tersebut dinafikan secara total, karena penafian dalam bentuk kalimat ismiyah (berawal kata benda) lebih kuat, seakan-akan fi’il dinafikan. Dan karena ia bisa menerima hal tersebut. Dan artinya adalah penafian kejadianku sekaligus penafian kemungkinan menurut syari’at. Dan itu pun merupakan ungkapan yang baik pula. Wallaahu a’lam.
Imam Abu ‘Abdillah asy-Syafi’i dan juga yang lainnya telah menggunakan ayat yang mulia ini: {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ} “Bagimulah agamamu dan untukkulah agamaku,” sebagai dalil bahwa kekufuran itu secara keseluruhan merupakan satu millah (agama), sehingga ada kemungkinan orang Yahudi menerima warisan dari orang Nasrani, dan demikian pula sebaliknya, jika antara keduanya mempunyai hubungan nasab atau sebab yang bisa menjadikan mereka saling waris-mewarisi, karena semua agama selain Islam adalah satu dalam kebathilan. Imam Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang sejalan dengannya mempunyai pendapat yang menyatakan tidak dibolehkannya penerimaan warisan oleh orang Nasrani dari orang Yahudi, dan demikian sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya رضي الله عنه, dia berkata: “Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
‘Tidak ada waris-mewarisi antara dua millah (agama) yang berbeda.” [HR. Abu Dawud di dalam Sunannya, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Ahmad di dalam Musnadnya (II-195)]


Jumat, 03 Agustus 2012

Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam


Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam

Oleh Ust. Syamsul Arifin Nababan

Pendahuluan

Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.

Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami”  adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.  Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan manusia.

Konsep Toleransi Dalam Islam


Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”  

Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja).  Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.

Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!”  Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la  dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).

Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu).  Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.

Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.  Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan  dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.

Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.

Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”

Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).

Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
  1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
  2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
  3. Kelemah lembutan karena kemudahan
  4. Muka yang ceria karena kegembiraan
  5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
  6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
  7. Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
  8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."

Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).

Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam


Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.

    Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.

    Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.

    Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.

    Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal yang begitu bagus sebelumnya.

    Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.

    Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran Islam.

    Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang. 

Penutup


    Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.

    Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

    Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

Kamis, 02 Agustus 2012

Busana/Pakaian Muslimah Wanita/Perempuan Yang Baik dan Benar (Jilbabers)


Busana/Pakaian Muslimah Wanita/Perempuan Yang Baik dan Benar (Jilbabers)


Semua kaum wanita muslim seharusnya menutupi aurat yang dilarang untuk dipertontonkan di muka umum. Batasan aurat untuk perempuan adalah semua tubuh kecuali telapak tangan dan wajah, sedangkan batas aurat untuk laki-laki adalah pusar sampai lutut harus tertutup pakaian secara sempurna (tidak transparan).
Saat ini banyak sekali wanita yang memakai jilbab dengan cara yang salah karena justru memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh seksi, membuka bagian tubuh yang harus ditutupi (misalnya lengan dan telapak kaki), menggunakan pakaian yang tembus pandang samar-samar memperlihatkan kulit dalam pakaian, dan lain sebagainya.
Ada juga yang menggunakan jilbab bukan karena alasan untuk menjalankan perintah agama, namun untuk tujuan lain yang pada umumnya adalah untuk dapat terlihat lebih cantik. Banyak wanita yang merasa lebih pede jika rambut, lengan, betis, kaki, dan lain sebagainya tidak terlihat. Alasan ingin tampil lebih cantik dengan jilbab justru banyak tidak dibarengi dengan menutup secara sempurna bagian tubuh yang seharusnya ditutup. Perempuan tersebut memakai jilbab (jilbab gaul) namun dianggap telanjang karena memperlihatkan bentuk badan seksinya kepada orang lain.
Beberapa Karakteristik / Ciri-Ciri Jilbab Gaul Pada Wanita (minimal satu atau lebih kriteria) :
1. Memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dengan pakaian yang ketat.
2. Jilbab model cekek ketat yang memperlihatkan lekukan kepala dan leher.
3. Suka memakai pakaian trendy yang bukan pakaian muslimah lalu tinggal di tambahan penutup tangan, penutup kaki dan jilbab
4. Menggunakan alas kaki trendi yang memperlihatkan kulit kaki tanpa kaus kaki.
5. Ada bagian pakaian yang transparan pada bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh dilihat.
6. Jilbab dipakai tidak sempurna secara sengaja sehingga memperlihatkan rambut yang tersembul maupun penggunaan jilbab agak tembus pandang.
Oleh karena itu kaum perempuan yang memakai jilbab sebaiknya benar-benar memperhatikan aturan main dalam mengenakan pakaian muslimah karena pakaian yang digunakan mencerminkan sifat karakter seseorang.
Beberapa Tips Memakai Pakaian Muslimah :
1. Gunakan jilbab yang biasa saja yang tidak memperlihatkan bentuk kepala secara utuh dan lekukan leher.
2. Gunakan pakaian dengan lengan panjang untuk menutupi hingga pergelangan tangan yang longgar serta tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
3. Sebaiknya menggunakan rok panjang sampai mata kaki yang longgar atau gamis full dari atas ke bawah.
4. Gunakan kaus kaki panjang yang tidak transparan untuk menutupi kaki secara sempurna.
5. Gunakan pakaian dan jilbab yang biasa saja polos atau dengan pola sederhana tanpa ada hiasan dan jauh dari kesan trendi maupun mewah.
6. Pakai saja masker biasa jika memiliki wajah yang suka dilirik oleh kaum lelaki dan juga kaus tangan / sarung tangan biasa untuk menutupi telapak tangan jika tangannya suka dilirik kaum lelaki. Gunakan jika melewati tempat atau daerah yang rawan lirikan.
Pada dasarnya pakaian muslimah berfungsi untuk melindungi kehormatan para wanita dari banyak mata lawan jenis yang bisa tergoda karena tubuh wanita. Jangan justru dijadikan sebagai pakaian untuk tampil lebih menarik bagi lawan jenis. Namun demikian apapun yang tertutup boleh diperlihatkan kepada suami yang sah. Semoga tips artikel ini berguna bagi kita semua, terima kasih.