Sabtu, 19 Januari 2013

JABARIYAH DAN QADARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemikiran

             Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan dianalisa.

             Al-Syahrastani menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalām yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.

             Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.

             Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

             Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. QADARIYAH

1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah

      Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .

      Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak . Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah . Hadits tersebut berbunyi:  “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.

      Tentang kapan munculnya faham Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham qadariyah ini dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy . Sementara itu Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini . Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.

      Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada banyak kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus, diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.

      Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Sehingga ketika faham qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham jabariyah. Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah

      Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Jauhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqy.

1. Ma’bad Al-Jauhani
      Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .

2. Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy
      Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya . Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri .

      Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan .

      Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.

      Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi . Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri.

      Selanjutnya, terlepas apakah faham qadariyah itu dipengaruhi oleh faham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam Al-Quran dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham qadariyah sebagaimana disebutkan diatas , diantaranya adalah:

Dalam surat al-Ra’d ayat 11, Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”
.
Dalam surat Fushshilat ayat 40, Allah berfirman:
 “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;”.

Dalam surat al-Kahfi ayat 29, Allah berfirman:
 “Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.

      Dengan demikian faham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam Islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai faham ini sesat atau keluar dari Islam.

B. JABARIYAH

1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah

      Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya .

      Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .

      Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

      Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme . Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
1.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2.       Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3.       Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4.       Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dari agama Kristen bermazhab yacobit.

      Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.

2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Jabariyah

      Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham jabariyah adalah Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.

 1. Al-Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan .

 2. Jahm Ibnu Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib, juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama .

      Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara ajaran jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya.

      Sebagai penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk . Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a.       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b.      Surge dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c.       Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d.      Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.

      Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah
b.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar
c.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya .

         Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan . Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:

 1) An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.       Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2.       Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan

 2) Adh-Dhirar
Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

         Adapun golongan jabariyah mengatakan bahwa tidak ada ikhtiar bagi manusia, sebab Tuhan telah lebih dahulu menentukan segala-galanya. Sementara Ahlussunnah menetapkan usaha dan ikhtiar bagi manusia dan Allah yang menentukan. Jadi, orang akan mendapat pahala dengan usaha dan ikhtiarnya, juga sebaliknya ia akan mendapat dosa oleh sebab usaha dan ikhtiarnya.

      Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang melatar belakangi lahirnya faham jabariyah di antaranya:

 Dalam surat Ash-Shaffat ayat 96, Allah berfirman: 
 Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

Dalam surat Al-An’am ayat 111, Allah berfirman:
 “Mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”

Dalam surat Al-Anfal ayat 17, Allah berfirman: 
      “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.

      Ayat-ayat diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, manusia dalam paham jabariyah adalah sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari aturan dan skenario serta kehendak Tuhan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

      Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran qadariyah maupun jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Quran. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Namun pendapat mana yang lebih baik tidaklah bisa dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia

.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution, 1986, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: UI Press.
Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Sirajuddin Zar, 2003, Teologi Islam: aliran dan ajarannya, Padang: IAIN Press.



FUNGSI DAN PERAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktifitas belajar mengajar. Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Apabila masyarakat dinamis, kebutuhan anak didikpun akan dinamis sehingga tidak terasing dalam masarakat, karena memang maysrakat berubah berdasarkan kebutuhan itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi Pengembangan Kurikulum

a) Fungsi Kurikulum Dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan
Kurikulum pada suatu sekolah  merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang didiinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah bersangkutan (soetopo & Seomanto, 1993:17). Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.

b) Fungsi Kurikulum Bagi Anak Dididik
Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Kalau kita   kaitkan dengan pendidikan Islam, pendidikan mesti diorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan perlu diberi pengetahuan untuk hidup pada zamannya kelak. Nabi Muhammad Saw bersabda : didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghdapi zaman yang lain dari zamanmu.
Sebagai alat dalam memcapai tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosihistoris dan cultural yang berbeda dengan zaman di mana kedua orang tuanya berada.

c) Fungsi Kurikulum Bagi Pendidik Atau Guru
Guru merupakan pendidik propesional yang secara implisit telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada dipundak para orang tua. Orang tua yang menyerahan anaknya ke sekolah, berarti ia telah melimpahkan sebagian tanggng jawab pendidikan anaknya kepada guru atau pendidik. Hal ini, adalah bentuk harapan orang tua, supaya anaknya menemukan guru yang baik , kompeten, dan berkualitas (Ramayulis, 1996:39).

Adapun Fungsi Kurikulum Bagi Guru Atau Pendidik Adalah:
a.       Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasi pengalaman belajar para anak didik.
b.      Sebagai pedoman dalam mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.

Langeveld mengajukan lima komponen yang berinteraksi secara aktif dalam proses pendidikan yakni:
1.       Komposisi tujuan pendidikan, sebagai landasan idiil pendidikan dan yang dicapai melalui proses    pendidikan tersebut.
2.       Komponen terdidik, sebagai masukan manusiawi yang diperlukan sebagai subjek aktif dan dikenai  proses pendidikan tersebut.
3.       Komponen alat pendidikan, sebagai unsur sarana atau objek yang dikenakan kepada terdidik dalam  proses pendidikan.
4.       Komponen pendidik, merupakan unsur manusiawi yang membantu mengenalkan alat pendidikan  kepada anak didik dan mengarahkan proses pendidikan menuju sasaran yang diharapkan  sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan.
5.       Komponen lingkungan pendidikan, sebagaimana unsur suasana yang membantu dan membeikan udara  segar dalam proses pendidikan (Supeno, 1995: 42-43).

d) Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah
Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah adalah pertama, sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yakni memperbaiki situasi belajar. Kedua, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervise dalam menciptakan situasi untuk menunjang siuasi belajar anak ke arah yang lebih baik. Ketiga, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam memberikan bantuan kepasa guru atau pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar. Keempat, sebagai seorang administrator, menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum pada masa mendatang. Kelima, sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar mengajar (Soeopo dan Soemanto, 1993: 19).

e) Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua
Bagi orang tua, kurikulum difungsikan sebagai bentuk adanya partisipasi orang tua dalam membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Bantuan yang dimaksud dapat berupa konsultasi langsung ke sekolah atau guru mengenai masalah-masalah menyangkut anak-anaknya. Adapun bantuan berupa materi dari orang tua anak dapat melalui lembaga BP-3. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orang tua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka. Sehingga partisipasi orang tua inipun tidak kalah pentingnya dalam menyukseskan proses belajar-mengajar di sekolah.
Meskipun orang tua telah menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah supaya diajarkan ilmu pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya, orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Namun demikian, tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total diserahkan kepada sekolah atau pendidik. Sebenarnya, keberhasilan tersebut merupakan hasil dari dari sistem kerjasama berdasarkan fungsi masing-masing, meliputi: orang tua, sekolah, dan guru. Oleh karena itu, pemahaman orang tua mengenai kurikulum merupakan hal yang mutlak.

f) Fungsi Sekolah Tingkat Atas
Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua:
 a)  Pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan
Pemahaman kurikulum yang digunakan oleh suatu sekolah pada tingkat diatasnya dapay melakukan penyesuaian di dalam kurikulumnya, yakni:
·      Jika sebagian kurikulum disekolah bersangkutan telah diajarkan pada sekolah yang beradad dibawahnya, sekolah dapat meninjau kembali perlu atau tidaknya bagian tersebut diajarkan.
·      Jika keterampilan keterampilan tertentu yang diperlkan dalam mempelajari kurikulum suatu sekolah belum diajarkan pada sekolah yang berada dibawahnya, sekolah dapat mempertimbangkan masuknya program tentang keterampilan keterampilan ini kedalam kurikulumnya.
b) Penyiapan tenaga baru
Jika suatu sekolah berfungsi menyiapkan tenaga pendidik bagi  sekolah yang berada dibawahnya, perlu sekali sekolah tersebut memahami kurikulum sekolah yang berada dibawahnya itu. Pengetahuan tentang kurikulum yang berada dibawahnya berkaitan dengan pengetahuan tentang isi, organisasi, atau susunan serta cara pengajarannya. Dengan harapan, hal itu akan membantu sekolah dan pendidik dalam melakukan revisi revisi dan penyesuaian kurikulum

g) Fungsi bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah
Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat, sebagai pemakai lulusan, dapat melaksanakan sekurang-kurangnya dua macam:
1.       Ikut memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan pihak orang tua dan masyarakat.
2.       Ikut memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.

h) Fungsi kurikulum bagi penulis
Para penulis buku ajar mestinya mempelajari terlebih dahulu kurikulum yang berlaku pada waktu itu. Untuk membuat berbagai pokok bahasan maupun sub pokok bahasan, hendaknya penulis buku ajar membuat analisis intruksional terlebih dahulu. Kemudian menusun garis garis besar program pelajaran (GBPP) untuk mata pelajaran tertentu, baru berbagai sumber bahan yang relevan

Di samping mempunyai fungsi di atas, kurikulum juga memiliki fungsi lain yang tentu memiliki pendekatan berbeda dengan sebelumnya.

a) Fungsi penyesuaian
Anak didik hidup dalam suatu lingkungan, sehingga anak didik dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis, karena itu anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu.
Muhammad Fadlil Al-Jamali mengungkapkan bahwa pendidikan yang dapat disarikan dari Al-Qur’an berorientasi:
1.       Mengenalkan individu akan perannya di antara sesama makhluk dengan tanggung jawabnya  dalam hidup ini
2.       Mengenalkan individu akan individu sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3.       Mengenalkan individu akan alam ini dan mendorong mereka mengetahui hikmah diciptakannya alam, serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam.
4.       Menegakkan individu akan pencipta alam ini dan memerintahkan agar beribadah kepada Allah.

b)  Fungsi Pengintegrasian
Dalam hal ini, orientasi dan fungsi kurikulum adalah mendidik anak agar mempunyai pribadi yang integral. Mengingat anak didik merupakan bagian integral dari masyarakat, pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.

c) Fungsi perbedaan
Pada prinsipnya, potensi yang dimiliki anak didik itu memang berbeda-beda, dan peran pendidikanlah untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada itu secara wajar, sehingga anak didik dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka-ragam namun satu tujuan pembangunan tersebut. Berkaitan dengan deverensiasi pada anak didik tersebut, Nabi Saw bersabda: Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya (H.R. Abu Bakar bin Asy-Syakir). Barangkali dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan dan kurikulum harus diorientasikan kepada pengembangan potensi yang berbeda-beda dari anak didik, sehingga perlakuan terhadap mereka sepatutnya mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan potensi masing-masing.

d) Fungsi Persiapan
Kurikulum berfungsi mempersiapkan anak didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh. Apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan untuk belajar di dalam masyarakat. Seandainya dia tidak mungkin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Hamalik, 1990:11). Bersiap untuk belajar lebih lanjut tersebut sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan minat mereka.

e) Fungsi Pemilihan
Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa fungsi kurikulum adalah deverensiasi yakni memberikan layanan kepada anak didik sesuai dengan perbedaan-perbedaan pada dirinya.

f) Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik adalah agar siswa dapat melakukan evaluasi kepada dirinya dan menyadari semua kelemahan dan kekuatan diri sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuannya yang ada, yang pada akhirnya dapat berkembang secara maksimal dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan fungsi pendidikan Islam, yakni menanamkan nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi pada peserta didik. Menurut Noeng Muhadjir, nilai budaya termasuk insani, sedangkan nilai agama termasuk nilai Ilahi. Relasi antara kedua nilai tersebut menjadi linier-koheren, yang ada hubungan hierarkis dan etis yang menjadi rujukan dan pemandu semua nilai.

B. Peranan pengembangan kurikulum

a) Peranan Konservatif
Kebudayaan sudah ada sebelum lahirnya suatu generasi dan tidak akan pernah mati walau generasi yang bersangkutan sudah habis. Kebudayaan yang diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku, bahkan kebudayaan terwujud dan didirikan dari perilaku manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang berisi kewajiban dan tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang dan yang diizinkan. Semua kebudayaan yang sudah membudaya dan sudah ditransmisikan kepada anak didik selaku generasi penerus. Oleh karena itu, semua ini mejadi tanggung jawab kurikulum dalam menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang mengandung makna membina perilaku anak didik. Sekolah sebagai lambing sosial sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi kurikulum bertugas menyimpan dan mewariskan nilai-nilai budaya (Wiryo Kusumo dan Mulyadi, 1988:7).

b) Peranan Kritis dan Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah sejalan dengan perkembangan zaman yang terus berputar. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Maksudnya, kurikulum itu selain mentransmisikan nilai-nilai kepada generasi muda, juga sebagai alat mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah nilai-nilai sosial yang ada atau dibawa itu sesuai atau tidak dengan perkembangan yang akan datang serta apakah perlu diadakan perubahan atau tetap seperti aslinya.

c) Peran Kreatif
Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu dalam setap potensinya, kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan ketrampilan baru, sehingga memberkan manfaat bagi masyarakat.
Masyarakat Jepang mungkin bias menjadi sumber inspirasi bagi bangsa kita yang sedang bekerja keras untuk membangun meningkatkan sumberdaya manusia. Ilmu yang diserap bangsa Jepang sebenarnya second hand yang diambil dari Negara maju, atau hasil serapan dari Barat, tetapi bangsa ini tidak menerapkan konsep-konsep yang dipelajarinya begitu saja, melainkan mengembangkan konsep baru berdasarkan acuan yang mereka peroleh dari barat yang kemudian dipadukan dengan budaya dan karakteristik bangsanya (Hadipranata, 1994:92)

BAB III
KESIMPULAN

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Pengembangan kurikulum sendiri mempunyai beberapa fungsi dan peranan. Fungsinya adalah:
1.       Fungsi Kurikulum dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan
2.       Fungsi Kurikulum Bagi Anak Didik
3.       Fungsi Kurikulum Bagi Pendidik
4.       Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah atau Pembina Sekolah
5.       Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua
6.       Fungsi Kurikulum bagi Sekolah tingkat Diatasnya
7.       Fungsi bagi Masyarakat dan Pemaki Lulusan
Sedangkan peran kurikulum adalah:
1.       Peranan
2.       Peran kritis dan evaluative
3.       Peran kreatif.


DAFTAR PUSTAKA
Idi, Abdulah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007
Dakir, H, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
SELAMAT DATANG DI

http://gpai2.blogspot.com



Kamis, 17 Januari 2013


IMPLIKASI DEFINISI TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

BAB  I
PENDAHULUAN
Dalam Bab pertama telah dipersoalkan perlunya definisi baru tentang Teknologi Pembelajaran (TP) yang dapat mencerminkan pertumbuhan dan keragaman dalam kawasan Teknologi Pembelajarn, serta diharapkan dapat menjadi pencetus kreativitas dan perubahan lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ely (1983) bahwa ”definisi tidak membangun kawasan, tetapi membantu menjelaskan fungsi, tujuan dan peranan apa dan siapa saja yang ada di dalam dan di luarnya”(hal.2). Usaha pendefinisian ini juga mengandung tujuan lebih jauh untuk merangsang perkembangan kesatuan masyarakat ilmuwan dan praktisi yang sangat berbeda dalam filsafat, tugas (job), dan lingkungan kerjanya. Bab ini secara khusus membahas peranan dan implikasi definisi dalam kawasan yang berubah secara pesat.


BAB  II
A. DEFINISI DAN PERANANNYA DALAM PERTUMBUHAN KAWASAN
Perkembangan Bidang Studi Tersendiri
Dalam dokumen ini terkandung pengertian bahwa Teknologi Pembelajaran merupakan suatu bidang studi tersendiri, suatu cabang pengetahuan yang terpisah. Meskipun telah berfungsi sebagai suatu bidang studi selama bertahun-tahun, bahkan telah merupakan suatu profesi, namun kemantapan status keberadaannya termasuk relatif baru bagi masyarakat luas. Mantapnya status ini dapat ditunjukkan dengan kepedulian profesional dan kejelasan lingkup teoritik. Definisi Teknologi Pembelajaran tidak hanya dipengaruhi oleh dimensi kematangan, karena bersamaan dengan itu definisi ini memungkinkan tumbuhnya bidang studi itu sendiri lebih lanjut.
Menurut pendapat Finn (1953) karakteristik suatu profesi meliputi :
 • Sekumpulan teori dan penelitian
 • Teknik intellektual
 • Aplikasi yang bersifat praktis
 • Persyaratan latihan dan sertifikasi yang memadai
 • Etika yang ditegakkan
 • Asosiasi dan komunikasi di antara anggota
Selama bertahun-tahun, di bidang Teknologi Pembelajaran telah memenuhi semua kriteria ini. Proses perkembangannya telah menghasilkan sekumpulan teori tersendiri, dan prinsip-prinsip yang dihasilkannya telah diterapkan dalam berbagai keadaan.
Berkembangnya penerapan Teknologi Instruksional telah diakui secara meluas. Sedemikian jauh perkembangan ini telah sejajar dengan perkembangan teknologi itu sendiri. Meskipun demikian masih merupakan isu yang diperdebatkan apakah perkembangan bidang itu telah menghasilkan sejumlah teori dalam lingkup parameter sendiri, ataukah telah memecahkan masalah sendiri, atau dikembangkan oleh ilmuwan dalam lingkungan sendiri. Semua ini merupakan inti diskusi mengenai kematangan disiplin keilmuwan TP. Kebanyakan diantara kita berpendapat bahwa kawasan desain merupakan kawasan yang paling matang dibandingkan dengan kawasan lain, karena sebagian besar teori yang terbentuk dalam penelitian yang dilakukan ada dalam kawasan ini. Meskipun akar intellektual dari desain ini berasal dari teori bidang disiplin lain, namun desain pembelajaran telah mengalami kemajuan dengan menghasilkan sejumlah penelitian dan teori tersendiri yang bersifat unik. Kita perlu menggantikan sejumlah pengetahuan dari disiplin lain yang kita gunakan dengan pengetahuan yang kita kembangkan sendiri dalam kelima kawasan TP. Hal ini merupakan arah dan tujuan perkembangan intellektual dalam bidang studi yang bersangkutan.

B. EVALUASI DEFINISI
Definisi tahun 1994 dan tahun 1977 sama-sama menekankan bahwa Teknologi Pembelajaran merupakan proses desain dan pengembangan yang komprehensif dan digunakan untuk memcahkan masalah pembelajaran dan belajar. Dalam kedua definisi tersebut Teknologi Pembelajaran dipandang sebagai bidang studi yang berorientasi sistematis. Namun terdapat pertanyaan pula bahwa TP dipandang sebagai ”suatu mengenai belajar” sebagaimana dikemukakan oleh Armsey dan Dahl (1973), meskipun hal ini tidak dipersoalkan lagi dalam karya di bidang studi. Definisi tahun 1994 sekarang ini konsisten dengan teori dan praktik dalam bidang studi, meskipun pendapat umum atau mereka yang tidak berpendidikan dalam TP menganggap bahwa sebagai profesi bidang ini mempunyai orientasi perangkat keras.
Isu yang lebih penting ialah tentang perlunya diperoleh kesepakatan di antara para ilmuwan dan prakstisi di bidang studi mengenai persoalan yang berkaitan dengan ruang lingkup Teknologi Pe,belajaran dan membedakannya dari bidang studi lain. Tugas ini penting artinya bagi sebuah definisi, karena pada hakekatnya terikat pada permasalahan yang menjadi perhatiannya. Dalam suatu disiplin yang telah matang, terdapat kesepakatan mengenai masalah yang berhubungan dengan lingkup kajian dan praktiknya, termasuk masalah baru yang akan muncul seiring dengan perubahan masyarakat. Keputusan seperti itu tidaklah sulit jika batasan konseptual bidang studi yang bersangkutan itu jelas. Demikian juga tidak akan ada kesulitan bilamana definisi bidang studi untuk dapat diterima dan dipahami secara luas. Batasan konseptual Teknologi Pembelajaran dapat diterapkan dengan menggunakan struktur yang disarankan oleh kelima kawasan bidang studi., sebab kelimanya mencerminkan wilayah praktek dan spesialisasi yang utama. Validitas definisi dan keunikan bidang studi, selanjutnya tergantung pada kejelasan dan kelengkapan kawasannya.
Pertumbuhan definisi Teknologi Pembelajaran juga sejajar dengan perubahan pendangan mengenai kawasan bidang studi. Misalnya, kawasan pengembangan pembelajaran yang dirumuskan dalam definisi tahun 1977, telah tumbuh menjadi tiga kawasan terpisah dalam definisi tahun 1994, yaitu:   desain, pengembangan dan penilaian. Pertumbuhan ini terjadi karena meningkatnya kegiatan dan proses yang berlangsung dalam teori dan praktik.
Perubahan definisi ini lebih bersifat evolusi dari pada revolusi. Perubahan secara bertahap mencerminkan unsur stabilitas dan adanya persamaan pengertian diantara para teknolog pembelajaran. Secara fundamental, stabilitas ini mencerminkan komitmen bidang studi terhadap penggunaan model desain sistem pembelajaran sebagai orientasi utama dalam menciptakan dan mengelola lingkungan belajar. Kecuali itu telah ada kesepakatan bersama tentang pentingnya mediasi dan visualisasi dalam proses pembelajaran. Kesamaan pengertian ini mengingatkan pada deskripsi Kuhn tentang paradigma sebagai komitmen masyarakat ilmuwan terhadap kerangka konseptual implisist , tersirat dan meresap ”(Shulman, 1986:4). Selanjutnya Kuhn (1962) menyatakan bahwa penggunaan paradigma yang dominan dalam sebuah bidang studi merupakan karakteristik sebuah kematangan disiplin yang bersangkutan.
Disamping adanya kesepakatan mengenai landasan tersebut, terdapat pertumbuhan sejumlah perspektif dan pendekatan alternatif. Hal ini telah dibahas dalam Bab III. Pertanyaan yang mungkin timbul adalah : ”apakah penjelasan dan perspektif alternatif mengenai proses belajar mengajar itu memperkaya atau justru memecah bidang studi? Apakah kerangka definisi dan kawasannya telah mencakup posisi alternatif teoritis?”
Sementara sebuah definisi disiplin ilmu mencerminkan pertumbuhan bidang studi, bisa juga dikatakan bahwa definisi yang belum matang (prematur) dapat mempersempit bidang studi secara intellektual , sehingga menghambat pertumbuhan. Sebagai contoh definisi dan kawasan TP sebagaimana disajikan disini mencerminkan elemen-elemen sebuah pendekatan sistem dalam pendidikan. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa posisi ini berdampak membatasi bidang studi dan menghalangi pemecahan masalah secara kreatif. Hal itu selanjutkan akan dapat menghambat pembentukan perspektif alternatif baru. Oleh karena itu definisi yang dikehendaki adalah definisi yang menjelaskan wilayah atau batasan (kapling) bidang studi TP, tetapi tidak menghambat pemikiran anggotanya. Diharapkan definisi 1994 juga berfungi demikian.

C. DEFINISI DAN PERANANNYA DALAM KOMUNIKASI
1. Elemen Yang Meningkatkan Komunikasi
Shulman (1986:4), menyimpulkan bahwa ”kemampuan untuk berkomunikasi merupakan penentu utama keanggotaan bermasyarakat”. Kemampuan berkomunikasi merupakan pertumbuhan dari :
• Kesamaan latihan dan budaya
• Kesamaan nilai dan tujuan konseptual, dan
• Kesamaan pengalaman
Kesemuanya ini merupakan prasyarat keanggotaan dalam masyarakat profesional.
Latihan formal meningkatkan keterlibatan dalam profesi dan komunikasi dengan pihak lain karena memberikan dasar pustaka serta prinsip dan praktek dalam bidang studi dan juga menunjukkan penerapan terbaik dalam pekerjaan. Selanjutnya, latihan juga memberikan pengertian tentang sejarah, seperangkat kesamaan definisi dan kesempatan mengikuti perdebatan dan kontroversi mengenai bidang studi. Latihan formal juga cenderung menciptakan kesepakatan mengenai masalah dan paradigma disiplin ilmu. Ringkasnya, pendidikan dan latihan formal meningkatkan kesamaan pemahaman tentang definisi bidang studi.
Banyak pemuka ddan pembuka jalan (pioneer) dalam Teknologi Pembelajaran menerima latihan formal mereka di bidang studi lain, seperti psikologi, rekayasa, komunikasi (dan/atrau pendidikan). ”Silsilah atau hubungan kekeluargaan” itu memperkaya kultur akademik dan mengembangkan konsep bahwa Teknologi Pembelajaran merupakan keturunan intellektual dari berbagai bidang studi lain. Namun sejarah ini juga merupakan topik perdebatan mengenai hakekat Teknologi Pembelajaran.
Dewasa ini para pemuka cenderung memperoleh pengetahuan mereka dan program pascasarjana universitas dalam bidang Teknologi Pembelajaran . Hal ini jelas berlaku untuk para pemuka akademik dan cenderung untuk pemuka praktisi. Dengan semakin meningkatnya rutinitas untuk memeasuki profesi bidang studi, maka akan semakin dipeoleh kesepakatan mengenai landasan pengetahuan dan batasan bidang. Adanya kesamaan latar belakang profesional itu semakin membesarkan kesamaan mengenai nilai pendidikan dari bidang studi. Kesamaan latar belakang ini memberikan konstribusi yang sangat berarti dalam berkembangnya kesamaan budaya, termasuk semakin efektifnya komunikasi dalam masyarakat akademis dan praktisi Teknologi Pembelajaran.
Meskipun demikian, kesamaan latar belakang pengalaman juga menumbuhkan semangat kekerabatan dalam bidang studi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kerancuan mengenai definisi bidang studi. Terdapat banyak pekerjaan dimana orang dapat menerapkan prinsip Teknologi Pembelajaran. Tiap latar pekerjaan tersebut mempunyai budaya sendiri dan keragaman budaya itu akan dapat menghambat komunikasi diantara kaum profesional tersebut tidak disebabkan oleh kurangnya kesepakatan dalam definisi, melainkan karena pengaruh keragaman kelompok dan kultur di kalangan praktisi Teknologi Pembelajaran.
2. Kesadaran Komunitas
Pada tahun 1953 James Finn mengemukakan bahwa dalam rangka pembentukkan watak suatu profesi, maka komunikasi perlu difasilitasi oleh assosiasi para profesional. Secara singkat dapat dikatakan bahwa adanya assosiasi dapat menciptakan kesadaran komunitas. Kecuali assosiasi diantara para praktisi yang bergerak dalam lingkungan tertentu, terdapat juga beberapa assosiasi profesi resmi dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Beberapa diantaranya seperti : Association for Educational Communication ang Tecnology (AECT), yang menghimpun masyarakat dengan latar belakang minat yang berlainan dan angggota-anggotanya pun berasal dari berbagai komunitas pekerjaan. Assosisasi lain seperti International Visual Literacy Assosciation yang memfokuskan diri pada suatu bidang minat meskipun para anggotanya mempunyai latar belakang dari berbagai komunitas. Kapan para profesional para profesional dengan keragaman komunitas kerja dan keragaman minat bersatu, maka kemungkinan kesulitan berkomunikasi akan semakin besar daripada kalau mereka terikat dalam suatu bidang tertentu saja.
Dengan munculnya Teknologi Pembelajaran sebagai bidang studi tersendiri yang cakupannya luas, maka diperlukan sekali adanya hubungan diantara para komunitas Teknologi Pembelajaran yang memungkinkan komunikasi ke arah tujuan bersama. Kebersamaan definisi memungkinkan terjadinya hal ini, terutama kesamaan definisi dan pemehaman mengenai hakekat bidang studi. Namun, definisi itu harus cukup luas untuk mencakup berbagai minat dan kekhususan yang ada dalam bidang. Inilah yang menjadi fungsi dari kelima kawasan dan berbagai komponen yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, definisi itu harus merupakan ”rumah” untuk semua anggota dari masyarakat profesional yang beragam ini, maka dengan definisi akan lebih mudah untuk menyepakati standar, kode etik, dan posisi kebijakan. Termasuk pula kesepakatan dalam pengetahuan dan keahlian teknis di atara berbagai kelompok Teknologi Pembelajaran.
Identitas profesional tidak hanya sekedar pemasangan label pada diri seseorang. Identitas itu terjamin dan tersuburkan dengan adanya kesadaran arah yang jelas, serta dengan adanya pengalaman kerja dan hubungan dengan orang lain yang mempunyai latar belakang sama. Meskipun definisi bersama mengenai suatu bidang tidak menjamin adanya kesadaran identitas tentang bidang, namun identitas itu akan sulit diperoleh tanpa kesamaan definisi tersebut. Kesadaran akan komunitas dan identitas akan sangat tergantung pada keluasan pendefinisian dan sejauh mana definisi itu memungkinkan adanya perbedaan dan perkembangan kreatif.

D. DEFENISI DAN PERANANNYA DALAM PENYUSUNAN AGENDA
1. Pengembangan Agenda Untuk Penelitian Dan Praktek
Pertumbuhan dan perkembangan dalam suatu bidang studi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena adanya acara khusus yang konkrit mengenai hal itu. Acara-acara itu dapat merupakan kegiatan khusus dari pemuka yang berpengaruh atau yang berlangsung secara abstrak yang merupakan cerminan dari iklim intellektual dan sosial pada zamannya. Cobb dan Elder (1983) ketika membahas agenda politik, menyatakan bahwa ”Isi dan dinamika penyusunan agenda mmerupakan fungsi konteks sosial, politik dan ekonomi tempat proses ini dipadukan. Konteks itu secara kkonstan berubah, dengan menciptakan kendala baru dan mengubah yang lama” (h.188).
Dalam sejaran Teknologi Pembelajaran terdapat kekuatan sosial dari peristiwa penting yang selalu memepengaruhi agenda bidang studi. Salah satu contohnya adalah pengaruh Sputnik Rusia terhadap reformasi pendidikan AS. Kekuatan lain yang mempengaruhi perkembangan teknologi adalah tuntutan di kalangan militer dan industri untuk adanya latihan yang ceppat dan efektif. Secara intellektual perngaruh teori Robert Gagne pada kondisi belajar dan pengaruh penekakan tujuan behavioral juga berfungsi sebagai konteks suatu pertumbuhan Teknologi Pembelajaran . Teknologi yang berkembang secara cepat dalam masyarakat kita memmpunyai makna sosial dan intelektual yang penting bagi Teknologi Pembelajaran.
Kekuatan-kekuatan ini dengan kedisiplinan agenda masing-masing, telah membentuk pendekatan umum ke arah penyususnan penelitian dan teori, teknik, dan prinsip-prinsip praktek dalam bidang studi. Kadang – kadang pengaruh susunan agenda itu tampak dengan jelas. Perkembangan teknologi merupakan contoh yang paling jelas, meskipun ada juga contoh lain. Gerakan konstruksivisme dirasakan akibatnya bagi berbagai disiplin lain yang tidak terkait. Kekuatan politik menuntutpenekakan pada pengujian, sedangkan kekuatan sosial menekankan pengaruh keberagaman dalam belajar.
Agenda juga membantu pertumbuhan dan perubahan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Agenda tertulis ditemukan dalam petunjuk legislatif untuk pendanaan. Agenda tidak tertulis tetapi juga berpengaruh, tampak dalam perubahan kurikulum dalam program universitas. Agenda tidak ttertulis juga terlihat dalam pemilihan bahan pembicaraan dan pembicaraannya dalam pertemuan tahunan assosiasi profesi. Definisi bidang studi yang disajikan disini juga memiliki implikasi dalam susunan agenda TP. Apabila definisi itu diterima secara luas dan dipadukan dalam budaya bidang studi, maka definisi itu dapat berimplikasi pada agenda penelitian dan agenda praktek. Implikasi itu tampak dalam aspek-aspek yang berbeda dari definisi tahun 1977. Perbedaan itu menekankan arah baru kemana bidang studi itu telah bergerak atau cenderung bergerak. Dengan adanya perbedaan itu definidi memiliki potensi untuk berfungsi sebagai bagian dari proses pembangunan agenda bidang studi.
2. Implikasi Untuk Agenda Profesional Baru
Perbedaan umum antara definisi tahun 1977 dan definisi tahun 1994 adalah :
• Perubahan nama bidang studi
• Perubahan orientasi utama kegiatannya; dan
• Perubahan dalam kawasan
`               Adanya perbedaan inilah yang merupakan kunci sumber pengaruh pada arah pertumbuhan dan perkembangan bidang studi.
Perubahan nama pada satu sisi merupakan perubahan yang tampak paling jelas tetapi di sisi lain tidak terlalu penting. Rasional perubahan itu sudah di bahas dalam Bab I. Nama yang baru menekankan perubahan utama dalam arena praktek selama periode tujuh belas tahun antara kedua definisi tersebut. Pada dasawarsa 1970-an, perhatian sekolah dan pendidikan anak masih mendominasi bidang studi. Dewasa ini lebih luas lingkungan yang mencakup sebagai lapangan profesional kita. Hal ini mengarah pada peneliti dan praktisi untuk memperhatikan pembelajar pada semua usia, dengan keragaman isi, dan dengan kendala yang ada dalam berbagai latar organisasi. Keragaman aplikasi prinsip dan praktek dalam bidang studi, menghendaki teori dan peneliti baru. Kebutuhan itu cenderung berlanjut selama beberapa waktu.
Kunci perbedaan kedua terletak pada orientasi utama dari setiap definisi yang disajikan dalam Bab I. Pada definisi 1977 bidang studi itu pada dasarnya dinyatakan sebagai proses. Definisi itu memfokuskan diri pada pemecahan masalah, dan meskipun akar teoritik yang kuat ditunjukkan, namun definisi itu berorientasikan pada praktek. Sedangkan definisi 1994 dinbyatakan dengan jelas bidang studi merupakan wilayah pengetahuan dan kajian yang dapat diaplikasikan dalam situasi p-raktis. Arah itu ditentukan untuk memungkinkan berkembang menjadi suatu disiplin yang berdiri sendiri. Perubahan ini mengimplikasikan perlunya lebih banyak lagi penelitian dan teori yang bersifat unik dalam bidang studi, dan berkurangnya ketergantungan pada produk teori dan penelitian dan penelitian bidang studi lain.
Perubahan yang paling menonjol terletak pada konfigurasi kawasan, serta pejabaran komponen dalam tiap kawasan. Perubahan ini mengandung makna luas. Dalam definisi 1977 ada tiga kawasan yaitu : manajemen pembelajaran, pengembangan pembelajaran dan sistem pembelajaran. Dalam definisi baru sekarang terdapat lima kawasan yang masing-masing memiliki empat komponen yang semuanya sudah dibahas secara rinci dalam Bab II.
Setiap kawasan dalam definisi tahun 1994 memrlukan landasan penelitian dan teori tersendiri dari pada menggantungkan pada pengetahuan bidang studi lain. Landasan penelitian kawasan itu tidak sama perkembangannya. Ada wilayah kajian yang sedikit perkembangannya, dan ada wilayah kajian lain yang sangat berkembang. Kawasan yang belum berkembang dan komponen-komponennya mempunyai implikasi besarpada perlunya agenda penelitan dan praktek baru dalam bidang studi.


BAB  III
KESIMPULAN
Definisi pembelajaran tahun 1994 memebrikan penjelasan lebih lanjut mengenai batasan intellektual bidang studi. Serta mengidentifikasi dan menekannkan hubungan dan ketergantungan diantara kawasannya. Definisi itu adalah bersifat stipulatif, yaitu tidak hanya mendeskripsikan apa bidang studi itu dewasa ini tetapi juga merumuskan penelitian yang diperlukan di masa mendatang. Definisi itu dimaksudkan untuk membantu perkembangan bidang studi lain dan sekaligus meningkatkan komunikasi diantara para profesional dalam masyarakat Teknologi Pembelajaran .
Meskipun definisi menyoroti batasan bidang studi, namun tidak ada maksud untuk mempersempit bidang studi atau membatasi kreativitas para anggotanya. Teknologi pembelajaran selama ini telah dipandang sebagai suatu kiat daripada suatu pengetahuan. Karakteristik ini akan tetap dikenal bilamna kreativitas para teknolog pembelajaran dibatasi pada usaha mempertahankan keberadaan bidang studi tanpa mepedulikan pengembangan definisi lain.